Potensi BUMDesa Bebaskan Warga dari Jerat Utang Pinjol dan Paylater

Image title
Oleh Arif Hulwan - Tim Publikasi Katadata
5 Juni 2025, 19:44
Ilustrasi. Banyaknya pihak yang terjebak pinjol berbunga tinggi terkait minimnya literasi keuangan syariah.
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Ilustrasi. Banyaknya pihak yang terjebak pinjol berbunga tinggi terkait minimnya literasi keuangan syariah.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Tingginya tingkat utang kepada pinjaman online (pinjol) terutama jelang Lebaran 2025 hingga masuk desa diduga terkait dengan minimnya literasi soal keuangan syariah. Padahal, penduduk Indonesia, terutama di pedesaan, punya modal kuat untuk menerapkan prinsip ini dalam persoalan utang.

"Masyarakat desa sudah terbiasa dengan sistem bagi hasil seperti maro, gadoh dari hasi usaha pertanian dan peternakan. Tradisi tersebut masih berlangsung sampai saat ini di masyarakat desa, tanpa menyadari bahwa praktik tersebut bagian dalam ekonomi syariah," ujar Kepala Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (BBPPM) Yogyakarta Tunggak Santosa, S.H.,M.H., dalam keterangannya.

"Namun praktik kehidupan lainnya seperti hutang piutang terjebak pada sistem konvensional. Belum lagi merebaknya kasus-kasus pinjaman online ilegal yang sudah sampai desa. Bunga yang sangat tinggi dan persekusi daat penagihan tidak dipedulikan," urai dia.

Salah satu momen lonjakan tingkat utang kepada pinjol adalah jelang Lebaran Idulfitri 2025. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pinjol dan layanan paylater meningkat tajam hingga Rp78,5 triliun, tumbuh hampir 30 persen dibandingkan 2024.

"Kebutuhan yang meningkat saat lebaran, keinginan tampil di saat lebaran, dan kemudahan melakukan pinjaman online menjadi penyebabnya," kata Tunggak.

Risiko kredit macet pun membayangi. Risiko ini juga bisa berdampak ke peminjam, apalagi bila berurusan dengan Pinjol ilegal. Banyak terjadi, peminjam mendapat teror dari debt collector karena terjerat utang berkepanjangan.

"Fenomena ini tentu sudah menjalar dari kota ke desa," sambungnya.

Tunggak mengatakan masifnya utang pinjol dan payleter ini bisa jadi akibat "tidak pahamnya masyarakat tentang riba. Padahal sudah jelas bahwa prinsip-prinsip syarriah harus terhindar dari perbuatan Maghriba (Maisir, Gharar, Halam, dan riba)."

Pasar Ekonomi Syariah Desa

Meski sudah ada layanan pembiayaan keuangan di desa, baik konvensional maupun syariah melalui kelembagaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) dan Koperasi, pangsa pasar keuangan syariah masih minim.

Data Otoritas Jasa Keuangan 2024 menunjukkan tingkat literasi keuangan syariah baru mencapai 39,11% dan tingkat inklusi keuangan syariah sebesar 12,88%.

Salah satu potensi dalam menggarap pasar ekonomi syariah adalah jumlah penduduk, data Kementerian Dalam Negeri pada Juni 2024 atau semester I/2024, jumlah penduduk Indonesia mencapai 282,478 juta jiwa. Potensi yang besar itu jika dikelola dengan ekonomi syariah tentu akan membawa kemanfaatan yang besar. Sebanyak 89% BUMDesa tercatat memiliki usaha berupa jasa keuangan berupa simpan pinjam dan perkreditan.

"Tidak banyak yang melaksanakan sistem syariah atau menggunakan sistem bagi hasil yang konsisten," ungkap Tunggak.

Masih minimnya masyarakat mengakses layanan keuangan syariah setidaknya karena tiga hal.

Pertama, stigma syariah sebagai yang cenderung ekslusif pada agama tertentu. Padahal syariah ini lebih berorientasi pada sistem yang berkeadilan dan inklusif.

Kedua, regulasi terkait keuangan syariah belum sampai pada level desa. Yang baru ada adalah Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020 tentang Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Komite ini bertugas mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

"Adapaun Kick Off Ekosistem Pusat Inklusi Keuangan Syariah (EPIKS) di desa telah dilakukan pada akhir Maret 2025," imbuhnya.

Ketiga, tingkat persaingan dengan lembaga keuangan konvensional. Persyaratan yang mudah dalam layanan pinjaman, kecepatan pencairan menjadi daya tarik tersendiri pada layanan konvensional.

Proyeksi ke Depan BUMDesa

Ke depan, Tunggak menyebut BUMDesa dapat dikembangkan dengan tiga model syariah, yaitu model BUMDes Syariah secara menyeluruh, model BUMDes konvensional dengan membentuk unit usaha syariah di dalamnya, dan model BUMDesa yang menerapkan Kolaborasi Layanan Keuangan Syariah (KoLaKS).

"Dari skema model bisnis ketiganya, yang paling mudah adalah kolaborasi layanan keuangan syariah," ujar dia.

BUMDesa bisa mengenal lebih dulu layanan keuangan syariah sekaligus pelan-pelan mendidik masyarakat agar beralih dari layanan konvensional.

"Perlu waktu dan proses. Intinya bisnis yang ada di BUMDesa tidak hanya sekedar halal dan tayib, tetapi juga sesuai prinsip-prinsip keadilan. Tidak mudah memang beralih pada layanan syariah. Ini lebih soal paradigma. Sesuatu yang mudah diawal biasanya kadang timbul persoalan di belakang," tutup dia. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Arif Hulwan

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...