E-Commerce Punya Omzet di Atas Rp 500 Juta Bakal Kena Pajak, Begini Ketentuannya
Pemerintah saat ini tengah menggodok regulasi baru untuk menerapkan pajak bagi e-commerce. Nantinya, pedagang yang berjualan di marketplace akan dipungut pajak dari transaksi yang dihasilkan.
“Saat ini, rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak masih dalam tahap finalisasi aturan oleh pemerintah,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rosmauli, Rabu (25/6) malam.
Ia menjelaskan, pemerintah akan menerapkan kebijakan tersebut dengan berprinsip untuk menyederhanakan administrasi pajak. Selain itu juga untuk menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku usaha UMKM online dan UMKM offline.
Sebelumnya, pemerintah sudah menunjuk marketplace pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk memungut pajak. Hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 58 Tahun 2022 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak Dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan/Atau Pelaporan Pajak Yang Dipungut Oleh Pihak Lain Atas Transaksi Pengadaan Barang Dan/Atau Jasa Melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.
Aturan pajak untuk e-commerce itu sebagai bentuk uji coba pemerintah sebelum menunjuk platform e-commerce secara umum untuk memungut pajak. Pemerintah juga sempat menunda pemungutan pajak penghasilan atau PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pelapak yang berjualan di marketplace.
Kriteria Pelapak yang Terkena Pajak
Sumber Reuters mengungkapkan, dalam aturan baru nanti, marketplace akan diminta untuk memotong dan meneruskan pembayaran pajak kepada otoritas hingga 0,5%. Pajak ini hanya akan dikenakan bagi pelapak yang memiliki omzet tahunan berkisar Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.
Kebijakan ini dilakukan untuk menyamakan kedudukan dengan penjual atau toko yang berjualan secara fisik. Sumber Reuters juga mengungkapkan, pajak bagi pelapak di e-commerce akan diterapkan pada Juli 2025.
Jutaan Penjual akan Terdampak
Aturan baru ini dipastikan akan mempengaruhi sejumlah marketplace di Indonesia seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, hingga Bukalapak.
Asosiasi industri e-commerce Indonesia idEA tidak mengonfirmasi atau membantah rincian rencana tersebut. Namun, asosiasi ini mengatakan aturan tersebut akan mempengaruhi jutaan penjual jika diterapkan.
Laporan investor negara Singapura, Temasek, dan konsultan Bain & Co industri e-commerce Indonesia sedang berkembang pesat. Hal ini dengan perkiraan nilai barang dagangan kotor pada tahun lalu mencapai US$ 65 miliar atau sekitar Rp 1.059 triliun (menggunakan kurs Rp 16.292 per dolar AS).
Nilai tersebut juga diperkirakan tumbuh menjadi US$ 150 miliar atau setara Rp 2.444 triliun pada 2030. Kondisi ini terjadi di tengah pendapatan negara yang turun.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan angkanya anjlok 11,4% secara tahunan pada periode Januari hingga Mei menjadi Rp 995,3 triliun. Hal ini dikarenakan harga komoditas yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang lemah, dan gangguan pada pengumpulan pajak yang disebabkan oleh peningkatan sistem pajak.
