Imbas Corona, Tiga Perusahaan Retail Besar Merugi Ratusan Miliar
Pandemi corona memberi pukulan berat bagi industri retail. Hal ini menyebabkan laba bersih sejumlah emiten retail anjlok tajam hingga merugi ratusan miliar di semester I 2020 lantaran banyak gerai yang tutup sementara seiring pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Emiten retail busana, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) membukukan kinerja negatif akibat pandemi virus corona dengan perolehan rugi bersih Rp 357,86 miliar. Capaian ini berbanding terbalik dibandingkan capaian semester I 2019, yang mana perseroan berhasil mencatat laba sebesar Rp 1,16 triliun.
Mengutip laporan keuangan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), kinerja buruk pada semester I 2020 disebabkan oleh anjloknya penjualan serta meningkatnya beban keuangan perseroan.
Sepanjang semester I 2020, penjualan perseroan turun 62% menjadi Rp 2,25 triliun dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 5,9 triliun. Penurunan penjualan terjadi di seluruh lini, baik penjualan eceran, penjualan konsinyasi maupun pendapatan jasa.
Kinerja perusahaan kian tertekan dengan adanya kenaikan beban keuangan sebesar 105% menjadi Rp 51 miliar dan kerugian lainnya dari penjualan aset tetap senilai Rp 19 miliar. Alhasil, perusahaan membukukan rugi bersih Rp 357 miliar dari yang sebelumnya laba Rp 1,16 triliun.
CEO dan Wakil Presiden Direktur Matahari, Terry O'Connor mengaatakan perusahaan telah mengambil langkah efisiensi biaya secara menyeluruh, termasuk untuk memperoleh keringanan biaya sewa. Dengan langkah ini, dia mengklaim beban operasional perusahaan dapat ditekan 53%.
“Kami telah menutup gerai-gerai dengan kinerja kurang baik, dengan mempertimbangkan periode sewa. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19 dan upaya merestrukturisasi bisnis, perusahaan memutuskan untuk mempercepat penutupan gerai yang berkinerja kurang baik," katanya dalam siaran pers akhir Juli 2020.
Hingga semester I 2020, perusahaan telah menutup enam gerai format besar. Pada saat yang sama, perusahaan juga membuka satu gerai baru di Palembang pada Mei 2020, dan dua gerai baru di kota Depok dan Tangerang pada Juli 2020.
Dengan penambahan ini gerai berformat besar Matahari menjadi 154 hingga saat ini.
Selain Matahari, kerugian juga dicatat PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI). Pada semester pertama 2020, perusahaan membukukan pendapatan bersih Rp 6,79 triliun, turun 33% dari Rp 10 triliun pada semester pertama 2019. Hal ini lantas menyebabkan margin laba kotor semester pertama turun dari 49,3% menjadi 42,6%.
Perusahaan juga melaporkan rugi usaha sebesar Rp 330,9 miliar. Keuangan perusahaan makin tertekan akibat naiknya beban keuangan menjadi Rp 286 miliar serta kerugian entitas asosiasi Rp 34 miliar.
Sehingga, perusahaan akhirnya mencetak rugi bersih berjalan sebesar Rp 407 miliar.
“Perusahaan telah mengambil langkah tanggap untuk memperkuat bisnis dengan mengerahkan seluruh kemampuan omni-channel merek kami. Digitalisasi telah mempercepat dan terus menjadi pusat untuk semua keputusan investasi di periode mendatang," kata VP Investor Relations & Corporate Communications MAP Group, Ratih Gianda dalam keterangannya, dikutip Kamis (6/8).
Lebih lanjut, dia juga menjelaskan, di tengah tantangan bisnis saat ini, MAP secara aktif tengah melakukan reorganisasi untuk mengurangi beban usaha secara substansial. Strategi penurunan beban itu antara lain mencakup biaya remunerasi, biaya sewa hingga membatasi belanja modal.
Hingga Juni 2020, MAP telah mengopeerasikan lebih dari 2.300 gerai di seluruh Indonesia. Gerai retail itu antara lain mencakup departement store, toko brand fesyen dan gaya hidup, gerai olah raga, makanan minuman, perhiasan, toko buku hingga minan anak.
Terakhir, emiten retail busana yang juga membukukan penurunan kinerja keuangan semester I tahun ini adalah PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Meski tak sampai merugi, laba bersih Ramayana merosot hingga 99% menjadi Rp 5,3 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 589 miliar.
Penjualan barang beli putus maupun konsinyasi segmen pakaian dan aksesoris maupun barang swalayan semuanya menurun. Berdasarkan laporan keuangan Ramayana, pada enam bulan pertama perusahaaan mencatat penjualan Rp 1,47 triliun, anjlok 57,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sekitar Rp 3,48 triliun.
Manajemen Ramayana menyatakan, akibat pandemi Covid-19, Ramayana telah menghentikan operasional sebagian besar gerainya. Hingga laporan keuangan disusun, masih terdapat beberapa toko yang belum beroperasi.
"Hal ini berdampak terhadap pendapatan perusahaan yang sudah turun lebih dari 50% maupun penurunan laba bersih lebih dari 75% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu" tulis manajemen Ramayana dikutip dari laporan keuangan perusahaan, dikutip Kamis (6/8).
Akibat menurunnya penjualan, laba kotor perusahaan ikut menyusut 60% menjadi Rp 613 miliar pada semester I 2020. Perusahaan juga membukukan rugi usaha Rp 53 miliar dari yang sebelumnya laba Rp 622 miliar akibat tertekan beban operasional serta laba bersih Rp 5,3 miliar.
Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya berpandangan, kinerja buruk emiten retail pada semester I tahun ini terutama disebabkan adanya PSBB diterapkan sejak April.
Sedangkan untuk Ramayana, dia menyebut tidak adanya cuti bersama Idul Fitri, serta lesunya daya beli masyarakat berpenghasilan rendah telah memukul penjualan perusahaan. Pasalnya, sebagian besar konsumen perusahaan disumbang kelompok tersebut.
"Meskipun prospek ekonomi dan industri pada 2020 sangat suram, pembukaan kembali ekonomi dapat menjadi katalis jangka pendek, karena kami berharap roda ekonomi berputar dan meningkatkan daya beli secara bertahap," ujar dia dalam riset yang diterima katadata.co.id.
Kontraksi Industri Retail
Lesunya daya beli masyaakat akibat pandemi corona serta dampaknya ke sektor retail diamini Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo). Asosiasi memperkirakan pertumbuhan industri retail sepanjang kuartal kedua 2020 terkontraksi minus 2,5 hingga 3 % dibandingkan periode sebelumnya.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, kinerja industri retail sangat bergantung pada kemampuan daya beli masyarakat. Sementara itu, selama pandemi corona, banyak sektor usaha lesu hingga merumahkan atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Alhasil, banyak masyarakat kehilangan penghasilan. Di sisi lain, banyak pula masyarakat yang menahan belanja atau hanya memenuhi kebutuhan pokok saja. Indikasi pelemahan daya beli pun tercermin dari tingkat inflasi pada bulan Mei dan Juni sebesar 0,78% dan 0,82%.
"Kalau inflasi rendah itu bukan semata-mata karena harga barangnya turun tapi karena memang permintaannya tidak ada," kata Roy kepada katadata.co.id, Selasa (4/8).
Pemasukan industri retail pun sedikit tertekan akibat timbulnya biaya tambahan untuk menjalankan protokol kesehatan di pertokoan. Dengan omzet yang hanya tersisa 30-35% akhirnya mengikis pendapatan perusahaan.
Belum lagi dengan adanya kenaikan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta tidak adanya subsidi listrik yang dialokasikan bagi pengusaha retail. "Bahkan kredit komersial yang dipergunakan oleh beberapa anggota kami itu belum mendapatkan relaksasi," kata Roy.
Oleh sebab itu, dia berharap pemerintah segera mempercepat penyaluran bantuan stimulus untuk menggerakkan konsumsi masyarakat. Pasalnya, penyaluran beberapa bantuan sosial maupun bantuan langsung tunai (BLT) dinilai masih sangat lambat.
Tercatat dari anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang jumlahnya mencapai Rp 695 triliun tingkat penyerapannya baru sekitar 20% atau setara Rp 141 triliun.
"Kami berharap Satgas pemulihan ekononmi nasional dan Menteri BUMN dapat merealokasikan Rp 100 triliun melalui 15 bank itu kiranya bisa masuk juga ke retail modern," kata dia.