Tantangan Emiten Rokok Masih Berlanjut pada 2021
Industri rokok Tanah Air dihadapkan pada dua momok besar sejak tahun lalu, yaitu kenikan tarif cukai dan daya beli masyarakat yang turun karena pandemi Covid-19. Memasuki tahun 2021, tampaknya kedua momok tersebut masih bakal membayangi kinerja industri tersebut.
Analis Reliance Sekuritas Anissa Septiwijaya menilai tahun ini masih menjadi tahun yang cukup berat buat industri rokok Tanah Air. Alasannya, selain karena dampak dari kenaikan cukai rokok yang bisa menurunkan permintaan, daya beli masyarakat yang belum pulih akibat Covid -19 juga turut membebani kinerja.
"Nampaknya beberapa emiten rokok akan mulai merambah bisnis ke sektor non-rokok," kata Anissa kepada Katadata.co.id, Jumat (26/3).
Salah satunya PT Gudang Garam Tbk (GGRM) yang mulai berinvestasi sektor infrastruktur seperti jalan tol dan bandara. Adapun, pembangunan Bandara Dhoho di Kediri tersebut sudah mulai groundbreaking pada April tahun lalu, dimana proyek ini masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).
Sementara, emiten rokok lapis kedua (tier 2), seperti PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM), terlihat lebih mampu bertahan di tengah kenaikan cukai rokok dibandingkan lapis pertama. Hal itu tercermin dari kinerja pada 2020 yang cukup baik, dimana pendapatan mereka naik hingga 38% menjadi Rp 1,38 triliun hingga triwulan III-2020.
"Pengaruh kenaikan cukai ke kinerja Wismilak cenderung lebih rendah dibandingkan dengan emiten rokok lapis satu," kata Anissa.
Karena kinerja yang kinclong tersebut, saham Wismilak yang tercatat di Bursa Efek Indonesia mengalami kenaikan signifikan. Sejak awal 2020, secara kumulatif sahamnya mengalami kenaikan 426% hingga perdagangan 26 Maret 2021 menjadi Rp 885 per saham.
Meski begitu, industri rokok yang dihajar oleh sentimen kenaikan cukai dan daya beli rendah karena Covid-19, belum memiliki faktor positif yang signifikan. "Secara keseluruhan kami belum melihat faktor yang signifikan yang bisa membuat emiten-emiten rokok ini bangkit," kata Anissa.
Salah satu emiten yang sudah mempublikasikan hasil kinerjanya sepanjang 2020, adalah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP). Sepanjang tahun, penjualan bersih Sampoerna mengalami penurunan 12,85% menjadi Rp 92,42 triliun.
Penurunan pada penjualan Sampoerna tersebut, berimbas pada laba bersih Sampoerna yang tercatat hanya Rp 8,58 triliun pada 2020. Catatan tersebut, turun hingga 37,46% dibandingkan dengan laba bersih pada 2019 yang mencapai Rp 13,72 triliun.
Tapaknya raihan laba bersih Sampoerna tersebut di luar perkiraan analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Christine Natasya. Awalnya, ia memperkirakan laba bersih Sampoerna bisa sejalan dengan adanya peningkatan volume penjualan secara kuartalan.
"Namun, kontraksi marjin akibat persaingan dan cukai tinggi, tetap menjadi masalah terbesar yang akan terus berlanjut di 2021 menurut pandangan kami," kata Christine dalam riset tertulisnya, Jumat (26/3).
Christine pun memperkirakan Sampoerna akan membukukan laba lebih rendah pada 2021 karena penurunan marjin laba kotor, meskipun anak usaha PT Philip Morris Indonesia tersebut mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan pajak cukai yang diredam untuk segmen SKT-nya.
Menurut perkiraannya, marjin laba kotor Sampoerna tahun ini akan turun 1,1% dibanding tahun lalu. "Karena menurut kami, perusahaan akan terus menaikkan rata-rata harga jual secara moderat, karena belum membebankan semua biaya cukai kepada konsumen," kata Christine.
Sementara, untuk penjualan Sampoerna, Christine memperkirakan adanya penurunan volume sebesar 3% pada 2021. Sehingga, pendapatan Sampoerna akhir tahun ini bisa tumbuh meski hanya 0,8% dibandingkan tahun lalu, menjadi Rp 93,1 triliun.