Terganjal PKPU, Kinerja Asia Pacific Fibers Masih Terbatas
Momentum kenaikan harga kapas rupanya tak banyak bisa dimanfaatkan PT Asia Pacific Fibers Tbk untuk membalik rugi di laporan keuangan per September 2021. Pasalnya, emiten dengan kode saham POLY tersebut masih harus menambah modal kerja untuk meningkatkan utilisasi produksi.
Di samping itu, Asia Pacific Fibers juga tidak bisa meminta dana ke perbankan maupun lantai bursa karena masih dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Seperti diketahui, harga kapas di pasar berjangka naik ke atas level US$ 1 per pon untuk pengiriman Desember 2021. Dilansir dari laman Business insider, harga kapas pada perdagangan Kamis (11/11) berada di level US$ 1,18 per pon, dengan level tertinggi dalam 52 minggu terakhir US$ 1,22 per pon. Angka tersebut sukses menembus rekor harga 2011, yakni US$ 1,005 per pon.
"Kalau (harga) kapas naik, maka substitusinya harusnya mendapatkan limpahan permintaan. Sebetulnya, permintaan lokal (serat polyester) tinggi," kata Corporate Secretary Asia Pacific FIbers Prama Yudha Amdan kepada Katadata.co.id, Kamis (11/11).
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mendata permintaan serat kapas di dalam negeri mencapai 1,2 juta ton per tahun. Sementara itu, permintaan filamen polyester per tahun sekitar 500 ribu ton, sedangkan serat polyester mencapai 700 ribu ton.
Adapun, Asia Pacific Fibers merupakan salah satu produsen polyester terbesar di dalam negeri, dengan pangsa pasar sekitar 20 %. Prama mengatakan, saat ini pihaknya turut menikmati peningkatan permintaan polyester di pasar.
Prama menyadari pihaknya belum bisa memaksimalkan momentum kenaikan harga kapas saat ini, karena belum dapat meningkatkan utilisasi ke level 100%. Hal tersebut dimungkinkan lantaran Asia Pacific Fibers merupakan industri hulu yang menitikberatkan proses produksi melalui bantuan mesin produksi.
Saat ini, utilisasi POLY masih di kisaran 89%-90%. Untuk bisa meningkatkan utilitas, Asia Pacific Fibers membutuhkan tambahan modal kerja. Sayangnya, Prama mengatakan pihaknya tidak dapat mengajukan kredit ke perbankan maupun menerbitkan obligasi di pasar modal, karena masih menempuh proses PKPU sejak 2006.
Dari keterangannya, proses PKPU saat ini telah mencapai 80% menuju rampung. Saat ini, hanya satu entitas yang belum memberikan posisi terhadap proses PKPU saham POLY itu, yakni Kementerian Keuangan.
"80% (kreditur) sudah punya kesepahaman dengan POLY, tapi undang-undang menyatakan (penyelesaian PKPU) harus bulat dari (seluruh) kreditur. Gregetnya, kami itu punya kapasitas, tapi tidak bisa jalan karena (tidak ada) working capital yang bisa diputar," ujar Prama.
Di sisi lain, Prama menyampaikan pihaknya tidak bisa serta-merta menaikkan harga jual mengingat daya beli industri tekstil belum pulih dari dampak Covid-19. Alhasil, perseroan hanya bisa meningkatkan volume penjualan dengan menekan alokasi polyester impor di pasar.
Hingga September 2021, pendapatan POLY tercatat naik 45,5 % menjadi US$ 265,3 juta dari periode capaian Januari-September 2020 di level US$ 182,3 juta. Pertumbuhan tersebut didorong oleh peningkatan penjualan produk perseroan di dalam dan luar negeri.
Seperti diketahui, POLY memproduksi empat jenis produk tekstil, yakni serat, benang, jasa pemintalan, dan chip polyester.
Penjualan domestik naik 43,8 % dari posisi US$ 141,6 juta hingga kuartal ketiga 2020, menjadi US$ 203,65 juta. Pertumbuhan tersebut didorong penjualan serat dan benang yang masing-masing mencapai US$ 90,9 juta dan US$ 88,48 juta.