Peran Pandu Sjahrir di Pusaran Industri Teknologi Asia Tenggara
Nama Pandu Sjahrir mencuat ketika dirinya bertemu dengan orang terkaya di dunia, Elon Musk, di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu. Saat itu, keduanya, bersama para pengusaha dan politisi Indonesia lain, membahas sejumlah peluang bisnis yang potensial.
“Semoga pertemuan ini bisa membawa lebih banyak investasi teknologi tinggi ke Indonesia,” tulis Pandu dalam unggahan fotonya di Instagram, usai pertemuan.
Nama Pandu Sjahrir mungkin tak familiar di kalangan pebisnis dunia, tetapi sosok Pandu cukup dikenal di industri teknologi di kawasan Asia Tenggara. Hampir semua perusahaan teknologi terbesar di kawasan Asia Tenggara memiliki hubungan dengan investor berusia 43 tahun tersebut.
Pandu pernah menjadi Direktur Operasional Indonesia di perusahaan raksasa game dan e-commerce, Sea Ltd., pada akhir tahun lalu. Dia juga pernah menjabat sebagai Anggota Dewan di perusahaan ride-hailing Gojek, sebelum bergabung dengan e-commerce online, Tokopedia.
Dalam entitas gabungan Gojek dan Tokopedia, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), Pandu memimpin unit keuangan. Tak berhenti di sana, Pandu juga menjabat sebagai penasihat di unicorn penjualan mobil asal Malaysia, Carsome Group.
"Pandu merupakan salah satu dari segelintir orang penting dalam ruang teknologi di Indonesia yang mendukung perusahaan teknologi, media, dan telekomunikasi di AS dan Asia Tenggara," ujar Jun Hong Heng, Pendiri dan Kepala Investasi Crescent Cove Advisors yang berbasis di San Francisco, AS, Dikutip dari Bloomberg, Selasa (20/9).
Jun Hong Heng telah bekerja dengan Pandu di sebuah perusahaan cek kosong yang mencari target perusahaan potensial di wilayah tersebut.
Menurut dia, Pandu mengincar investasi dan akses permodalan. Keponakan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu merupakan Managing Partner di Indies Capital Partners, perusahaan berbasis di Singapura yang memiliki bisnis pinjaman dan bertaruh pada kesepakatan teknologi tahap lanjutan.
Melalui dua perusahaan pendanaan yang berfokus pada teknologi, dia mengumpulkan lebih dari US$ 300 juta, dan telah mendukung 25 perusahaan, termasuk aplikasi pengiriman makanan Singapura Grab Holdings Ltd. dan pasar e-commerce PT Bukalapak.com Tbk di Indonesia.
Geliat Pandu di industri teknologi belum berhenti. Dia juga menjabat sebagai Founding Partner AC Ventures, perusahaan Indonesia yang membidik perusahaan rintisan atau startup tahap awal. AC Ventures memiliki sekitar US$ 500 juta aset yang dikelola dan telah melakukan lebih dari 120 investasi di wilayah tersebut, termasuk Carsome.
Heng berpendapat, salah satu faktor yang menguntungkan Pandu dalam menjalankan bisnisnya ialah koneksi. Dia merupakan keluarga penambang batu bara terkemuka. Industri ini memiliki ikatan yang kuat dengan anggota parlemen. Tak hanya itu, dia juga memiliki hubungan darah dengan salah satu pejabat pemerintah.
“Dia berasal dari keluarga politik. Dia tahu banyak seluk beluk pemerintahan, dan akan bisa menjembatani atau berhubungan dengan orang yang tepat. Itu nilai tambah terbesarnya,” katanya.
Perjalanan Karier Bermula dari Investasi Sea Ltd
Berdasarkan latar belakangnya, Pandu lahir di Boston dan menyelesaikan sekolahnya di AS. Dia memperoleh gelar MBA dari Sekolah Pascasarjana Bisnis Universitas Stanford, hingga kemudian bekerja di bidang keuangan di New York, Hong Kong, dan Singapura, termasuk sebagai analis di Lehman Brothers Holdings Inc yang sekarang sudah tidak beroperasi.
Pada 2010, dia pindah ke Indonesia, ketika keluarganya memintanya untuk membantu mendaftarkan perusahaan pertambangan batu bara mereka, PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), melantai di bursa saham pada 2012.
Selanjutnya, Pandu beralih ke industri teknologi. Salah satu investasi awal Pandu adalah di Sea, perusahaan yang dipimpin oleh Forrest Li, yang sempat menjadi orang terkaya di Singapura tahun lalu.
Menurut Pandu, perannya di Sea, investasi yang dia gambarkan sebagai 'pertaruhan besar', termasuk membantu membangun hubungan dengan pemangku kepentingan utama.
Saham Sea melonjak lebih dari 24 kali lipat dibanding saat listing pada 2017, dan mencapai puncak harga tertinggi pada Oktober 2021. Saat itu, perusahaan dianggap memiliki nilai lebih dari US$200 miliar, sampai akhirnya harga saham turun lebih dari 80%, di tengah aksi jual teknologi yang luas dan pendapatan yang mengecewakan.
Sementara itu, harga saham GoTo juga merosot 21% dari debutnya di pasar modal pada April 2022 lalu. Sementara itu, Grab telah kehilangan dua pertiga nilainya sejak go public melalui merger SPAC pada Desember 2021.
Menurut Pandu, perusahaan teknologi seharusnya tidak terlalu ambisius untuk melewati 'musim dingin' ini. Dia merekomendasikan penguatan neraca dan fokus pada bisnis inti.