Laba Astra Agro Lestari Melonjak 33% Berkat Kenaikan Produksi dan Harga CPO

Andi M. Arief
31 Oktober 2025, 09:43
Stok CPO masih cukup untuk bahan baku B50
ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/tom.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

PT Astra Agro Lestari Tbk mencatatkan kenaikan pendapatan dan laba bersih lebih dari 30% pada kuartal ketiga tahun ini. Emiten industri sawit berkode AALI ini menilai lonjakan performa tersebut didorong oleh peningkatan produksi dan tembusnya harga minyak sawit mentah atau CPO lebih dari US$ 1.000 per ton di pasar global.

Berdasarkan laporan keuangan AALI, nilai pendapatan bersih naik 35,8% dari 16,28 triliun pada Juli-September 2024 menjadi Rp 22,1 triliun pad kuartal ketiga tahun ini. Alhasil, laba bersih tercatat tumbuh 33,57% menjadi Rp 1,07 triliun pada periode tersebut.

"Produksi CPO kami pada kuartal ketiga tahun ini secara total naik sekitar 8% dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu. Jadi, kombinasi peningkatan produksi dan peningkatan harga membuat hasil performa kami cukup baik," kata Presiden Direktur AALI, Djap Tet Fa di Pangkalan Bun, Kamis (30/10) malam.

Berdasarkan data Investing, harga CPO di pasar global konsisten berada di atas US$ 1.000 per ton pada pekan ketiga Agustus 2025. Djap menilai fenomena tersebut membuat seluruh emiten industri sawit di dalam negeri memiliki performa yang baik pada kuartal ketiga tahun ini.

Namun, Djap menekankan pihaknya tidak bisa meramalkan maupun mengintervensi harga CPO di pasar global. Djap menilai peningkatan harga CPO pada kuartal ketiga didorong oleh peningkatan campuran CPO dalam program wajib pencampuran olahan CPO sebesar 40% pada solar atau B40.

Karena itu, Djap mensinyalir performa  harga CPO di pasar global akan dipengaruhi tiga hal, yakni produktivitas negara produsen, tingkat konsumsi CPO secara global, dan kondisi geopolitik. Harga CPO cenderung stabil pada 2014-2019 lantaran tidak ada gejolak geopolitik pada periode tersebut.

Djap menemukan harga CPO global mulai fluktuatif pada 2020-2021 akibat pandemi Covid-19. Sebab, periode tersebut membuat produksi CPO di Indonesia dan Malaysia cenderung turun akibat pembatasan pergerakan tenaga kerja di kebun.

"Pada 2022 ada perang Ukraina-Rusia yang membuat harga kembali volatil karena industri logistik minyak nabati terdisrupsi. Sementara 2023-2024 produksi susut akibat dampak El Nino," ujarnya.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki memproyeksi program kewajiban (mandatory) mencampurkan biodiesel dalam solar sebesar 50% atau B50 dapat membuat harga minyak naik tajam.

Sebelumnya, Ketua Umum Gapki, Eddy Martono mengatakan harga CPO di dalam negeri akan terpengaruh oleh pasar global. Sebab, harga CPO di Belanda maupun Malaysia masih menjadi faktor penentu harga CPO di dalam negeri.

"Kalau implementasi B50 dilakukan dengan kondisi produksi yang tidak berubah seperti saat ini, kemungkinan harga CPO dunia akan naik karena ekspor CPO dari Indonesia berkurang. Otomatis harga minyak goreng dan barang lain yang menggunakan CPO sebagai bahan baku ikut naik," kata Eddy kepada Katadata. Jumat (10/10).

Eddy menjelaskan CPO berkontribusi sekitar sepertiga dari pasokan minyak nabati dunia. Indonesia memasok sekitar seperlima dari pasokan minyak nabati secara global. Namun, Eddy menekankan pasokan CPO di dalam negeri akan terjaga pada tahun depan. Sebab, pengusaha CPO harus menaati kebijakan kewajiban pasar domestik atau DMO untuk mendapatkan persetujuan ekspor.

Walau demikian, Eddy menilai pemangku kepentingan harus mendorong volume produksi CPO dalam waktu dekat. Strategi utama yang dipilih adalah intensifikasi melalui peremajaan kebun sawit.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Andi M. Arief

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...