Pemerintah: Defisit Transaksi Berjalan Melebar Seiring Ekonomi Tumbuh
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan membengkaknya defisit transaksi berjalan pada kuartal III sejalan dengan capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal yang sama.
“Pertumbuhan ekonomi yang terus berlangsung, terakhir 5,17% (kuartal III), itu mendorong impor yang juga meningkat,” kata dia di sela-sela Seminar Indonesia Economic Outlook 2019 di Universitas Indonesia, Depok, Senin (12/11).
Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi tersebut dicapai seiring pembangunan infrastruktur yang terus berjalan. Sementara banyak bahan baku untuk pembangunan infrastruktur berasal dari impor. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab defisit transaksi berjalan.
(Baca juga: Terbesar di Era Jokowi, Defisit Transaksi Berjalan 3,37% dari PDB)
Defisit transaksi berjalan menunjukkan nilai impor barang dan jasa lebih tinggi dari nilai ekspornya. Kondisi tersebut mencerminkan kebutuhan valuta asing (valas) untuk impor lebih besar dibandingkan pasokan valas dari ekspor.
Seiring kondisi tersebut, pasokan valas Indonesia jadi bergantung pada investasi asing, termasuk investasi jangka pendek ke pasar keuangan domestik yang sifatnya mudah keluar masuk. Hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah rentan gejolak setiap kali terjadi arus keluar investasi asing. Ini sebagaimana terjadi tahun ini.
Suahasil mengatakan bahwa pemerintah telah memperkirakan hal ini sebelumnya. Maka itu, pemerintah telah melakukan antisipasi dalam berbagai bauran kebijakan. "Pemerintah mengirim sinyal bangun infrastruktur menggunakan input lokal. Kalau bisa tidak impor, jangan impor," ujarnya.
(Baca juga: Berbagai Faktor Tahan Pertumbuhan Ekonomi di Kisaran 5%)
Namun demikian, ia menjelaskan, kebutuhan pembangunan belum bisa sepenuhnya dipenuhi dari dalam negeri. Suahasil mencontohkan, alat turbin pembangkit listrik belum bisa diproduksi dalam negeri sehingga harus diperoleh melalui impor.
Di sisi lain, ia menjelaskan, kebijakan pengendalian impor barang konsumsi telah dijalankan dengan menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor ribuan barang konsumsi. Pemerintah juga menerapkan kewajiban biodiesel 20% (B20) untuk menekan impor solar. Kebijakan B20 tersebut diharapkan dapat menurunkan impor pada bulan Oktober sehingga defisit migas pada kuartal IV dapat menurun.
Selain itu, ia menambahkan pemerintah juga mendorong masuknya investasi asing langsung yang berjangka panjang ke dalam negeri. Hal ini dilakukan di antaranya dengan memperlonggar insentif libur pajak (tax holiday). "Nah jadi saya mau menyampaikan rangkaian ini sudah kita pikirkan sejak jauh-jauh hari," ujarnya.
Ia pun meyakini defisit transaksi berjalan pada kuartal IV akan lebih rendah dibandingkan kuartal III. Pada kuartal III lalu, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 8,8 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara 3,37% terhadap Produk Dometik Bruto (PDB).
Adapun Bank Indonesia (BI) memperkirakan, perbaikan defisit transaksi berjalan di kuartal IV bakal membuat defisit secara setahun penuh tidak melebihi batas aman 3% PDB. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menilai hal tersebut mungkin tercapai asalkan neraca perdagangan kuartal IV bisa surplus berkisar US$ 1-2 miliar.
Ia pun optimistis pemerintah dapat mencapai hal tersebut. "Ini sangat mungkin terjadi menimbang secara siklus akhir tahun, impor akan melambat. Sementara ekspor bisa jadi meningkat dipicu kenaikan harga komoditas," ujar dia.