The Fed Agresif Menaikkan Bunga, Bagaimana Sikap BI?
Keputusan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) menaikkan bunga acuan Fed Fund Rate sebesar 25 basis poin ke level 1,75 – 2 persen pada hari ini mendapat respons positif dari pasar Amerika, terutama industri keuangan di sana. Setidaknya, hal itu terlihat dari hasil survei terhadap sejumlah bankir.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap 23 bank di bursa Wall Street menunjukkan bahwa langkah The Fed sudah sesuai dengan prediksi mereka. Bahkan, ada ekspektasi dari para dealer utama ini bahwa The Fed kembali menaikkan dua kali bunga acuannya ke rentang 2,25 - 2,50 persen hingga akhir tahun ini.
Bahkan, sebagian besar kalangan perbankan di Negeri Paman Sam itu memperkirakan bank sentral terus memupuk Fed Fund Rate tiga kali lagi sepanjang tahun depan. Dalam kebijakan agresif ini, ekspektasi bunga acuan yang muncul antara 3,00 dan 3,25 persen pada akhir 2019. (Baca: Kerek Bunga Acuan Jadi 2%, The Fed Pasang Proyeksi Optimis Ekonomi AS).
Secara lebih detail, dari 23 bank yang disurvei, 18 ikut berpartisipasi mengikuti jajak pendapat. Sebanyak 15 responden melihat akan ada dua kenaikan lagi bunga The Fed tahun ini. Sementara untuk tahun depan, lima dealer memproyeksikan tiga peningkatan, bahkan lima lainnya memperkirakan hingga empat kali. Sementara enam bank memproyeksikan suku bunga The Fed hanya naik dua kali pada 2019. Adapun BNP Paribas memprediski satu kenaikan.
Bila The Fed cukup agresif mengerek suku bunga acuan karena ditopang sejumlah indikator -seperti inflasi makin menurun ke target 2 persen, jumlah lapangan kerja meningkat, dan tingkat pengangguran berkurang- lalu bagaimana Indonesia mengantisipasi dampak kebijakan tersebut?
Ketika dipimpin Agus Martowardjojo, kebijakan Bank Indonesia cukup konservatif. Dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang masih lemah, BI tidak ikut mengerek bunga acauan BI 7 Day Repo sebagaimana yang dilakukan sejumlah negara lain yang kurs mata uangnya tertekan kenaikan dolar Amerika Serikat.
Baru pada 17 Mei lalu BI menaikkan bunga acuan 25 basis poin ke level 4,5 persen. “Hal ini ditempuh bagian dari bauran kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah berlanjutnya peningkatan ketidakpastian pasar keuangan dunia dan penurunan likuiditas global,” kata Agus ketika itu. Ini adalah kenaikkan pertama bunga acuan BI sejak Oktober 2017.
Baru berselang dua pekan, BI kembali menaikkan suku bunga ke posisi 4,75 persen. Keputusan tersebut diambil dalam rapat dewan gubernur (RDG) tambahan -biasanya hanya di pertengahan bulan- yang dipimpin oleh Perry Warjiyo. Ia baru sepekan menggantikan Agus Martowardojo sebagai orang nomor satu di bank sentral.
Menurut Perry, langkah ini diambil dengan mempertimbangkan banyaknya tekanan global yang perlu diantisipasi, misalnya kenaikan bunga acuan The Fed dan defisit fiskal di negara tersebut serta risiko geopolitik. Hal-hal tersebut memicu kenaikan imbal hasil (yield) surat berharga Amerika atau US Treasury dan penguatan dolar terhadap seluruh mata uang dunia.
Karena itu, sikap (stance) kebijakan moneter BI agak berubah. Dalam bahasanya yaitu netral dengan sedikit bias ketat. “Belum ketat,” ujar Perry. Stance tersebut dengan mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya inflasi yang diperkirakan masih sesuai sasaran 2,5 - 4,5 persen. (Baca juga: Pelaku Pasar Tunggu Rilis Bunga The Fed, Mata Uang Asia Terpukul).
Defisit transaksi berjalan yang kemungkinan melebar namun masih di bawah 2,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga menjadi pertimbangan. Demikian pula dengan pertumbuhan ekonomi dan kredit di dalam negeri, serta risiko di pasar keuangan. Sementara dari faktor eksternal ada potensi kenaikan Fed Fund Rate sebanyak dua-tiga kali pada tahun ini dan kebijakan fiskalnya.
Pasar memang mulai membaca langkah agresif Perry sepekan sebelumnya. Ketika itu dia memberi sinyal akan membangun koordinasi dengan pemerintah dalam menghadapi depresiasi rupiah, mengatasi defisit transaksi berjalan, hingga masalah fiskal yang merupakan kebijakan di sektor riil.
“Apa yang ingn saya lakukan untuk stabilitas nilai tukar adalah pro stability dan pro growth. Saya akan pre-emptive dan ahead the curve dalam kebijakan suku bunga,” kata Perry sehari setelah dilantik sebagai Gubernur BI. (Baca: Gubernur BI: Masih Ada Ruang Kenaikan Bunga Acuan).
Tak hanya itu, dia masih membuka kemungkinan kembali menaikkan suku bunga acuan jika memang dibutuhkan. “BI akan terus mengkalibrasi perkembangan ekonomi, keuangan, baik domestik dan global untuk memanfaaatkan masih adanya ruang untuk kenaikan suku bunga secara terukur.”