Rupiah Anjlok, Gubernur BI: Ekonomi 2018 Lebih Kuat dari 1998 dan 2008

Rizky Alika
22 Mei 2018, 11:11
Agus Martowardojo
ARIEF KAMALUDIN I KATADATA

Nilai tukar rupiah sempat menembus level 14.200 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa (21/5). Pelemahan tersebut seiring gejolak di pasar keuangan global terutama imbas siklus kenaikan bunga acuan AS. Namun, Bank Indonesia (BI) meyakinkan meski nilai tukar mengalami depresiasi, ketahanan Indonesia berbeda dibandingkan tahun 1998 atau 2008.

Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, Indonesia memiliki jumlah cadangan devisa yang baik. Hingga akhir April 2018, cadangan devisa sebesar US$ 124,9 miliar. Jumlah tersebut setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

Kondisi keuangan perbankan juga dinilai sehat, tercermin dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang di atas 22%, rasio kredit seret atau Non Performing Loan (NPL) gross yang di bawah 3%, tepatnya 2,75%, dan NPL net sebesar 1,2%. Simpanan nasabah juga dinilai aman lantaran dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga Rp 2 miliar.

"Jadi secara umum malah indikator ekonomi Indonesia menunjukkan kondisi masih baik. Kalau dibandingkan dengan kondisi 10 atau 20 tahun yang lalu, kondisi kita sekarang baik dan tidak perlu dikhawatirkan," kata Agus setelah pertemuan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (21/5).

(Baca juga: Kurs Rupiah Tembus 14.200 per Dolar AS, Ini Tiga Penyebabnya)

Sebelumnya, BI telah mengerek bunga acuan BI 7 Days Repo Rate sebesar 0,25% untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah ekspektasi kenaikan bunga acuan AS. Namun, kebijakan tersebut belum mampu meredam perpindahan dana asing dari pasar keuangan domestik ke aset maupun mata uang dolar AS. Seiring kondisi tersebut, nilai tukar rupiah menembus 14.200 per dolar AS.  

Agus menjelaskan, pihaknya konsisten untuk menjaga stabilitas keuangan Indonesia di tengah kondisi ekonomi dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Namun, dari sisi kurs mata uang, ia menjelaskan, saat ini memang tengah banyak sentimen positif ke dolar AS.

Sementara itu, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin perkasanya dolar AS belakangan ini, di antaranya ekonomi AS yang tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal ini menguatkan peluang kenaikan bunga acuan AS.

Kemudian, pernyataan US Treasury Secretary Steve Munchin bahwa AS menunda pengenaan tarif impor tinggi untuk Tiongkok. Faktor lainnya, perkembangan di Eropa, seperti pemerintahan baru Italia yang cenderung meningkatkan kekuatiran terhadap fiskal dan ketidakpastian proses negosiasi Brexit.

(Baca juga: Puluhan Triliun Dana Asing Hengkang, Risiko Arus Keluar Masih Ada)

Adapun kenaikan BI 7 Days Repo Rate beberapa waktu lalu dinilainya telah membantu meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Namun, ia enggan mengomentari soal cukup tidaknya kenaikan sebesar 0,25%. Sebab, dalam mengambil keputusan, pihaknya memperhitungkan pengaruh nilai tukar terhadap sasaran inflasi. "Ini yang menjadi dasar kemarin suku bunga kami naikkan karena forward looking untuk inflasi," ujarnya.

Atas dasar itu, ia pun menepis anggapan bahwa kenaikan bunga acuan terlambat sehingga kurang ampuh meredam gejolak di pasar keuangan domestik. “Faktor-faktornya kami lihat terus sampai assement terakhir, dan sebenarnya suku bunga itu belum harus segera naik kecuali dalam beberapa minggu yang lalu,” ujarnya.

Ia pun memastikan BI akan tetap ada di pasar dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.  “Meski kami tentunya tidak melawan arah pasar itu sendiri,” ujarnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...