Beda dengan Pemerintah, BI Prediksi Ekonomi Triwulan I 5,1%
Bank Indonesia (BI) memprediksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama tahun ini sebesar 5,1 persen atau di bawah prediksi pemerintah yang mematok 5,2 persen. “Kalau lihat keseluruhan 2018, kita bisa masuk 5,1-5,5 persen,” kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di kantornya, Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Tiga hari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan optimistis pertumbuhan ekonomi pada triwulan satu sebesar 5,2 persen. Bila benar berarti lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu sebesar 5,01 persen.
Adapun pertumbuhan sepanjang 2018, Sri Mulyani menaksir 5,22 sampai 5,41 persen. Keyakinan tersebut, satu di antaranya, didasari pada pertumbuhan konsumsi domestik yang mulai membaik. (Baca juga: Ekonomi Akan Tumbuh Stagnan 5,5% Bila Sektor Manufaktur Tak Berkembang).
Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama tidak mencapai 5,2 persen. Jika sebelumnya pertumbuhan ekonomi utamanya didorong oleh konsumsi rumah tangga, saat ini indeks kepercayaan konsumen justru menurun. Pada Maret kemarin, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) masih di atas 100 yakni 121,6, namun lebih rendah dari IKK bulan sebelumnya sebesar 122,5.
Indikator konsumsi juga dipengaruhi oleh penjualan gerai ritel besar yang menurun. Artinya, konsumsi rumah tangga diperkirakan sulit tumbuh di atas 5 persen. “Kalau patokannya konsumsi rumah tangga, susah di atas 5 persen. Apa lagi yang diandalkan?” ujarnya.
Menurut dia, masyarakat cenderung tidak belanja barang-barang yang sifatnya tahan lama (durable). Kemudian, Dana Pihak Ketiga (DPK) juga sedikit menurun meskipun masih relatif tinggi sebesar 8,2 persen pada Februari. Hal ini menunjukkan masyarakat masih menyimpan uang di perbankan, terutama kelas memengah dan kelas atas.
Selain itu, neraca dagang yang surplus pada Maret belum memberikan pengaruh karena selama Januari dan Februari, neraca dagang Indonesia masih defisit. Artinya, ekspor belum bisa jadi pemicu utama karena pertumbuhannya diprediksi lebih rendah dari tahun lalu. Adapun neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 1,09 miliar pada periode Maret 2018, setelah defisit US$ 1,07 miliar dalam tiga bulan.
Dari segi investasi, Bhima menilai pad triwulan satu belum terlihat karena secara musiman realisasi investasi melambat. Investasi baru akan terlihat pada triwulan ketiga dan keempat. (Baca juga: Alasan Penting di Balik BI Pertahankan Suku Bunga Acuan 4,25 %).
Dia juga menyoroti anggaran pendapatan pemerintah serta penyaluran bantuan sosial pada triwulan satu meningkat sehingga medukung pertumbuhan ekonomi. “Yang mendorong di triwulan satu lebih di penyerapan belanja pemerintah yang lebih baik dari tahun sebelumnya,” kata dia.
Namun demikian, belanja pemerintah dinilai memiliki kontribusi kecil pada pertumbuhan ekonomi, hanya 9-10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga daya dorongnya tidak terlalu besar. Bhima memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan pertama 5 persen. Sementara pada triwulan kedua, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5,2 persen didorong oleh konsumsi yang meningkat seiring dengan momentum lebaran. “Kemudian ada Tunjangan Hari Raya (THR) yang katanya ditambah. Itu juga jadi stimulus konsumsi masyarakat,” katanya.
Sebagai informasi, pendapatan negara hingga 31 Maret mencapai Rp 333,8 triliun atau 17,6 persen terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Laju realisasi ini didukung penerimaan pajak yang tumbuh 9,9 persen dengan capaian Rp 244,5 triliun dan penerimaan bea cukai tumbuh 15,8 persen dengan capaian Rp 17,9 triliun. Sementara, pertumbuhan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 22,2 persen atau Rp 71,1 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja pemerintah pusat meningkat sebesar 14,21 persen dibanding Maret 2017 akibat lebih tingginya penyaluran bantuan sosial. Realisasi bantuan sosial mencapai Rp 17,89 triliun atau 22,02 persen dari pagu APBN atau tumbuh 87,56 persen dari tahun lalu pada periode yang sama.