CITA Dukung Penurunan Pajak UKM, Namun Ingatkan Risiko Pecah Bisnis
Pemerintah berencana memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) untuk usaha kecil dan menengah (UKM). Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mendukung rencana tersebut, bahkan menyarankan adanya pembedaan tarif sesuai omzet. Namun, ia menilai realisasinya tidak perlu terburu-buru untuk meredam risiko pemecahan bisnis.
Saat ini, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003, berlaku PPh final 1% untuk UKM yang beromzet maksimal Rp 4,8 miliar setahun. Informasi terakhir, aturan tersebut bakal direvisi sehingga tarifnya turun menjadi 0,5%. “Revisi Sebaiknya mencakup layering tarif pajak, terutama untuk melindungi pelaku usaha mikro,” kata Prastowo dalam keterangan tertulis yag diterima Katadata, Senin (22/1).
Ia mencontohkan, pemerintah bisa memberlakukan pembebasan pajak untuk wajib pajak mikro yang beromzet Rp 300 juta setahun. Lalu, menerapkan tarif 0,25% untuk wajib pajak beromzet Rp 300 juta sampai Rp 600 juta dan tarif 0,5% untuk wajib pajak beromzet antara Rp 600 juta sampai Rp 1,8 miliar.
Kemudian, wajib pajak beromzet di atas Rp 1,8 miliar bisa dikenakan tarif PPh final 0,5% dan pajak pertambahan nilai (PPN) 0,5%. “Hal ini sekaligus sebagai edukasi dan persiapan wajib pajak menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP),” kata dia.
Selain pembedaan tarif, ia juga mengusulkan agar dalam revisi peraturan dibuat jangka waktu penggunaan skema pajak UKM maksimal tiga tahun dan penyediaan aplikasi atau sistem untuk pembukuan yang praktis dan sederhana.
Ia pun berharap ketentuan pajak ini berlaku juga bagi UKM yang berbisnis secara online (e-commerce). Tujuannya, agar ada keadilan dalam berusaha. (Baca juga: Pemerintah Ajak Perusahaan E-Commerce Dorong UKM Binaan Bayar Pajak)
Meski mendukung adanya perubahan, ia menekankan perlunya ada kajian mendalam sebelum memberlakukan aturan baru. Apalagi, jika ambang batas (threshold) usaha yang masuk kategori UKM juga akan diturunkan dari saat ini Rp 4,8 miliar setahun.
Penurunan ambang batas dinilai akan menciptakan komplikasi administrasi di Ditjen Pajak. Ia pun mengusulkan agar aturan itu ditunda hingga pemerintah mendapatkan gambaran objektif. Penundaan juga diperlukan untuk sosialisasi, transisi, dan penyediaan infrastruktur.
“Perubahan kebijakan yang serta merta dan terlalu cepat dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan, termasuk perilaku wajib pajak yang memecah usaha agar tetap di bawah threshold sehingga tujuan Pemerintah meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas basis pajak tidak tercapai,” kata dia.