Cemaskan Risiko Brexit, Bank Sentral Amerika Tahan Suku Bunga
Spekulasi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS), yaitu Fed rate, pada Juni ini berakhir. Rapat komite pasar terbuka federal atau Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar bank sentral AS (Federal Reserve), Kamis (16/6) dini hari tadi, memutuskan menahan Fed rate di kisaran 0,25 persen-0,5 persen. Padahal, sebulan lalu, spekulasi kenaikan bunga AS pada Juni ini sempat menguat.
Ada dua faktor utama keputusan bank sentral AS menahan suku bunga acuannya. Pertama, kondisi ekonomi AS belum cukup kuat, yang ditandai oleh ketidakpastian bursa lapangan kerja. Kedua, rencana keluarnya Inggris dari Uni Eropa alias Britain Exit (Brexit).
“Tentu saja (Brexit) ini keputusan yang sangat penting bagi Inggris dan Eropa,” kata Kepala The Fed Janet Yellen dalam konferensi pers seperti dilansir BBC. (Baca: Efek The Fed Surut, BI Berpeluang Turunkan Bunga Acuan BI Rate)
Kebijakan The Fed mempertahankan suku bunga acuan itu akan berdampak terhadap kondisi keuangan global serta pasar finansial. Yellen menjelaskan, keputusan ini pun bakal membuat proyeksi perekonomian AS berbalik. Sebab, kenaikan suku bunga di masa mendatang akan lebih lambat.
Padahal, pada Desember lalu, saat menaikkan suku bunga untuk pertama kali dalam 10 tahun terakhir, bank sentral memperkirakan akan menaikkan suku bunga lebih dari dua kali dalam tahun ini. Namun, melihat perkembangan hingga paruh pertama tahun ini, kemungkinan bunga AS cuma naik satu kali tahun ini yaitu pada Desember nanti.
Departemen Keuangan Amerika Serikat berencana menjual seluruh surat utang pada 23 Juni nanti. Di hari yang bersamaan, Inggris akan melangsungkan pemungutan suara untuk menentukan status keanggotaan negara itu di Uni Eropa. (Baca: The Fed Ragu-Ragu, Rupiah Menguat 2,4 Persen dalam Dua Hari)
Yellen menilai, jika masyarakat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa nantinya, maka proyeksi perekonomian AS bakal berubah. Apalagi, pasar keuangan belakangan ini telah bergejolak dan dilanda kecemasan terkait kemungkinan tersebut. Harga saham di bursa dunia melemah dalam satu pekan terakhir. Nilai mata uang pound juga terpuruk.
Sekretaris Departemen Keuangan Amerika Serikat Jacob J. Lew, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (15/6) lalu, memperingatkan potensi gejolak perekonomian global akibat keputusan Brexit. Bahkan, Gubernur bank sentral Inggris atau Bank of England, Mark Carney, menyatakan keluarnya Inggris dari Uni Eropa bisa menimbulkan resesi.
Bank of England pun mulai melakukan serangkaian operasi pasar tambahan untuk menggenjot pendanaan dari bank. Adapun, anggota dewan gubernur bank sentral Eropa, Ilmars Rimservics, menyebutkan pihaknya sedang mempersiapkan diri menawarkan likuiditas mata uang euro. (Baca: Otoritas Moneter Waspadai Kenaikan Fed Rate)
Sekadar informasi, Inggris bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa atau European Economic Community, cikal bakal Uni Eropa, di tahun 1973. Kini, organisasi tersebut memiliki 28 anggota.