Tekan Risiko, Transaksi Lindung Nilai Melonjak Tajam
KATADATA - Bank Indonesia (BI) mencatat pelaporan utang luar negeri korporasi nonbank mencapai 2.166 perusahaan pada kuartal ketiga tahun lalu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.737 korporasi sudah memenuhi kewajiban rasio lindung nilai atau hedging untuk kewajiban valuta asing (valas) hingga tiga bulan ke depan.
Sebelum 2014, banyak perusahaan yang tak melakukan upaya untuk mengurangi risiko ini. Akibatnya, ketika kurs rupiah melemah terhadap dolar Amerika, utang valuta asing melonjak. Karena itu, perusahaan yang menerapkan hedging atas pinjaman valas lebih aman pada situasi tersebut. (Baca: Waspadai Efek Superdolar, BI Awasi Lindung Nilai Utang Swasta).
Deputi Gubernur BI Hendar mengatakan kepatuhan melapor tersebut meningkat dibanding dua kuartal sebelumnya yakni 1.309 dan 1.084 perusahaan. Tahun ini, rasio lindung nilai dan rasio likuiditas bertambah besar menjadi 25 dan 70 persen. Ketentuan membuat lindung nilai didasarkan pada Peraturan BI Nomor 16 Tahun 2014. Bila hingga setahun kemudian tak menerapkan kebijakan bank sentral tersebut, perusahaan akan disanksi.
Volume transaksi hedging oleh korporasi, kata Hendar, juga meningkat setelah ada Penerapan Prinsip Kehati-hatian. Pada 2014, misalnya, total transaksi hedging (derivatif) beli tercatat US$ 36,8 miliar. Nilainya meningkat pada 2015 menjadi US$ 41,6 miliar atau naik 13 persen. Transaksi beli ini merupakan transaksi pembelian valas terhadap rupiah dalam rangka hedging.
Khusus Badan Usaha Milik Negara, transaksi hedging melejit hampir dua setengah kali pada tahun lalu. Pertamina, misalnya, menandatangani master agreement hedging senilai US$ 2,5 miliar dengan Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, dan Bank Mandiri sejak Juni 2015. Garuda Indonesia pun melakukan hedging dua kali. Pertama dengan BNI, CIMB Niaga, dan Standard Chartered Indonesia. Lalu dengan BII, Bank Mega, ANZ, dan Standard Chartered Indonesia.
“PLN juga. Sejak April 2015 sudah menandatangani master agreement hedging US$ 950 juta dengan BRI dan BNI,” kata Hendar saat membuka workshop “Penggunaan Instrumen Derivatif Dalam Rangka Lindung Nilai Atas Risiko Nilai Tukar” di Gedung BI, Jakarta, Senin, 28 Maret 2016. (Baca juga: Jaga Dana Asing Kabur, Pemerintah Bisa Pajaki Valas Jangka Pendek).
Menurut dia, semestinya tidak ada lagi kekhawatiran bagi BUMN untuk melakukan hedging. Apalagi risiko nilai tukar rupiah masih tinggi. PLN, misalnya, pada 2012 untung Rp 3,2 triliun lalu merugi Rp 29,56 triliun pada 2013 karena pelemahan rupiah. Krakatau Steel pun buntung dari Rp 286 miliar melonjak minus Rp 777 miliar. Atau Garuda Indonesia yang tadinya untung Rp 1,4 miliar terpangkas tinggal Rp 6,84 miliar.
“Kami kan sudah bekerja sama dengan penegak hukum dan auditor, bahwa sepanjang dilakukan secara konsisten, konsekuen, dan tidak ada pelanggaran hukum kerugian karena hedging, bukan kerugian negara,” ujar dia.