Asing Masuk ke Obligasi Negara, Rupiah Stabil di Awal Tahun
KATADATA - Sejumlah sentimen negatif dari luar negeri ternyata tidak terlalu mempengaruhi mata uang rupiah pada awal tahun ini. Buktinya, dana asing masih mengalir masuk (capital inflow) ke dalam negeri sehingga rupiah cenderung bergerak stabil terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada perdagangan di pasar spot, Jumat ini (22/1), rupiah bahkan menguat 0,4 persen dibandingkan hari sebelumnya menjadi Rp 13.850 per dolar AS. Meskipun kalau dihitung sejak awal tahun ini (year to date) rupiah sudah tergelincir 0,45 persen, mata uang Indonesia ini bergerak relatif stabil dan tidak pernah merosot di bawah level Rp 14.000 per dolar AS.
Head of Research Mandiri Investasi Yusuf Winoto menilai keyakinan kurs rupiah stabil cukup tinggi di awal tahun ini di tengah penguatan dolar AS. Selain itu, ekspektasi kondisi ekonomi Indonesia tahun ini cukup optimistis. Di sisi lain, negara-negara tetangga, seperti Malaysia, tengah menghadapi kondisi politik yang tak stabil. Inilah yang melatari aliran masuk dana investor asing ke dalam negeri.
(Baca: Bunga Acuan BI Rate Akhirnya Turun, Rupiah Tetap Stabil)
Menurut Direktur Investa Sarana Mandiri Hans Kwee, masuknya investor asing karena rupiah yang saat ini bergerak di kisaran Rp 13.800-Rp 14.000 per dolar AS dianggap sudah di bawah nilai wajar (undervalue). Alhasil, potensi pelemahan rupiah yang lebih dalam, menjadi kecil. Investor asing pun memilih masuk ke pasar obligasi negara karena masih menjanjikan imbal hasil yang tinggi. Sedangkan laju inflasi tergolong rendah, yaitu tercatat 3,3 persen pada akhir tahun lalu.
Kebijakan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen pada pekan lalu, memang akan mendorong penurunan imbal hasil (yield) obligasi. Namun, kemungkinan langkah lanjutan BI untuk menurunkan lagi BI rate akan melecut masuknya investor asing saat ini. “Kalau mereka masuk sekarang akan (dapat) capital gain,” kata Hans kepada Katadata, Jumat (22/1).
Chief Investment Officer Mandiri Investment Priyo Santoso menambahkan, penurunan BI rate akan turut menyeret penurunan bunga deposito. Hal ini membuat investor melirik pasar obligasi sebagai pilihan instrumen investasi karena menawarkan yield yang lebih menarik dibanding return investasi yang lain. Ia menyebut, saat ini yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun sebesar 8,5 persen.
(Baca: Tahun Depan, Kinerja Rupiah Diramal Terburuk di Asia)
Indikasi dari tingginya animo investor terhadap obligasi negara setidaknya bisa dilihat dari hasil lelang SUN pada Selasa lalu (19/1). Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat, total penawaran yang masuk dari lelang empat jenis SUN mencapai Rp 25 triliun. Sedangkan nilai SUN yang diterbitkan sebesar Rp 14 triliun. Artinya, terjadi kelebihan permintaan sebanyak 1,8 kali. Penawaran terbesar terhadap SUN seri FR0056 bertenor 10 tahun ini mencapai Rp 13,2 triliun. Dengan tingkat kupon 8,37 persen, yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan sebesar 8,61 persen.
Menurut Yusuf, ada dua faktor yang mendukung masuknya para investor ke pasar SUN. Pertama, angka inflasi masih rendah. Inflasi tahun lalu sebesar 3,3 persen dan diperkirakan berkisar 4,5 persen hingga 5 persen tahun ini. Sedangkan imbal hasil SUN bertenor 10 tahun sekitar 0,5 persen hingga 8,86 persen. “Masih ada selisih 3 persen,” katanya. Kedua, tingkat bunga yang rendah.
(Baca: Dana Asing Masuk, Neraca Pembayaran Kuartal IV-2015 Diramal Surplus)
Sebelumnya, Direktur Ekskutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, langkah pemerintah menghimpun pembiayaan 2016 pada akhir tahun lalu (pre-funding) dengan menerbitkan obligasi global US$ 3,5 miliar, turut menarik masuknya dana investor asing. Alhasil, kondisi itu membuat rupiah menguat. Per 20 Januari 2016, kepemilikan asing di SUN mencapai Rp 565 triliun atau 38,51 persen dari total nilai Surat Berharga Negara (SBN) yang diperdagangkan.