Para Ekonom Meramal BI Belum Berani Turunkan Suku Bunga Acuan
KATADATA - Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Selasa besok (17/11) untuk memutuskan suku bunga acuan BI rate. Peluang menurunkan suku bunga terbuka untuk memacu pertumbuhan ekonomi, seiring dengan membaiknya data-data ekonomi makro, seperti angka inflasi rendah, surplus neraca perdagangan dan menciutnya defisit transaksi berjalan. Namun, para ekonom memperkirakan BI masih belum berani memangkas suku bunga.
Alasan utama BI selama ini belum mau menurunkan suku bunga acuan dari level 7,5 persen adalah masih adanya risiko keluarnya dana asing (capital outflow) dari pasar keuangan domestik. Hal ini akan berdampak terhadap melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada Senin ini (16/11), berdasarkan kurs referensi JISDOR di BI, rupiah melemah 0,7 persen dibandingkan akhir pekan lalu menjadi Rp 13.732 per dolar AS.
(Baca: Khawatir Dana Asing Kabur, BI Tahan Suku Bunga BI Rate)
Kekhawatiran melemahnya rupiah semakin besar akibat kemungkinan kenaikan suku bunga AS (Fed Rate) oleh bank sentral AS pada Desember nanti. Namun, Ekonom Universitas Indonesia, Anton Gunawan, memperkirakan capital outflow tidak akan terlalu besar kalau BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Meski nilai rupiah akan tertekan, langkah melonggarkan kebijakan moneter itu akan membantu pertumbuhan ekonomi di pengujung tahun ini.
Tapi, Anton meramal, BI belum akan mau menurunkan suku bunga hingga akhir tahun ini. “Kalau ditanya, saya maunya (BI rate) turun. Tapi kalau lihat gelagatnya (BI), rasanya belum berani (menurunkan BI rate),” katanya kepada Katadata. Padahal, dia menilai, kalau BI rate turun sekitar 25-50 basis poin maka akan dapat membangkitkan investasi meskipun pengaruh terhadap konsumsi rumahtangga belum langsung dirasakan. “Yang penting ekonominya, dalam negeri melambat sehingga harus di-support.”
Sebelumnya, Guru Besar Universitas Cornell Iwan Jaya Azis menyarankan pemerintah dan bank sentral mesti mendorong daya beli masyarakat. Salah satu caranya adalah menurunkan BI rate. "Dengan kondisi sekarang, prioritasnya meningkatkan daya beli masyarakat bawah. Salah satunya adalah menurunkan tingkat bunga," kata Iwan dalam seminar bertajuk "Mendalami Krisis Global dan Kebijakan Ekonomi Nasional" di Jakarta, 20 Oktober lalu.
(Baca: Iwan Jaya Azis: BI Rate Harus Turun)
Dalam konferensi pers Badan Pusat Statistik (BPS), Senin ini, Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo juga menganggap perlunya dukungan kebijakan moneter untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Pasalnya, sejak awal tahun ini neraca dagang mencatatkan surplus namun tak berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Jadi, perlu mendorong konsumsi rumah tangga yang berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebaliknya, Ekonom Bank Danamon Anton Hendranata menilai BI rate belum bisa naik tahun ini karena tekanan terhadap rupiah belum mereda. Apalagi, bank sentral AS berencana menaikkan suku bunga The Fed.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, menurut dia, pemerintah dapat menggenjot belanja untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. “Kalau proyek pemerintah lebih lancar di kuartal IV maka bisa memberi kesempatan orang untuk punya pendapatan,” kata Anton. Selain itu, pemerintah masih punya tugas menjaga angka inflasi.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual dan Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga berpendapat, penurunan BI rate masih berisiko besar saat ini. Ketidakpastian kenaikan Fed Rate akan berdampak terhadap kaburnya dana investor asing sehingga mempengaruhi besaran surplus transaksi modal dan finansial serta neraca pembayaran Indonesia. “Agak bahaya kalau turun tahun ini,” imbuhnya.
Penilaiannya itu mengacu kepada neraca pembayaran kuartal III-2015 yang dirilis oleh BI pada akhir pekan lalu. Meski defisit transaksi berjalan mengecil menjadi US$ 4,01 miliar atau 1,86 persen dari produk domestik bruto (PDB), defisit neraca pembayaran membengkak 56 persen dari kuartal II-2015 menjadi US$ 4,6 miliar. Penyebabnya adalah investasi portofolio mencatatkan defisit US$ 2,21 miliar. Padahal, pada periode sama 2014 masih surplus US$ 7,4 miliar. “Defisit investasi portofolio terutama disebabkan oleh terjadinya net jual asing atas surat utang negara (SUN) dan saham domestik,” kata Deputi Direktur Departemen Komunikasi BI Junanto Herdiawan dalam siaran pers BI, Jumat lalu (13/11).
Sementara itu, Josua memperkirakan sentimen pasar terhadap kebijakan moneter masih akan terasa hingga enam bulan ke depan. Untuk bisa menjaga kepercayaan pasar, lanjut dia, koordinasi antara pemerintah dan BI sangat dibutuhkan. Terutama dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nilai tukar rupiah.