Rupiah Terpengaruh Revisi Ekonomi Cina
KATADATA ? Rupiah kembali melanjutkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dalam perdagangan hari ini, rupiah ditransaksikan di rentang Rp 12.969-Rp 13.077 per dolar AS yang merupakan posisi tertinggi sejak krisis 1998.
Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara, pelemahan rupiah yang terjadi hari ini didorong ekspektasi perlambatan ekonomi Cina pada tahun ini. Perlambatan ekonomi negara panda tersebut dikhawatirkan akan mengganggu perdagangan Indonesia.
Ini mengingat Cina merupakan pasar tujuan ekspor utama Indonesia. Situasi ini bisa menambah defisit neraca transaksi berjalan. BI sebelumnya menargetkan defisit neraca transaksi berjalan sebesar 3 persen-3,2 persen pada 2015. (Baca: Rupiah Melemah Terpengaruh Ekspektasi Penurunan Suku Bunga)
?Sekarang pemerintah Cina menurunkan ke 7 persen, pasti negara-negara yang ketergantungannya ekspor ke Cina juga akan terkena sentimen negatif,? kata Mirza di Jakarta, Kamis (5/3).
Pemerintah Cina hari ini mengumumkan penurunan target pertumbuhan ekonomi 2015 dari 7,5 persen menjadi 7 persen. Penurunan tersebut, kata Perdana Menteri Li Keqiang, merupakan upaya untuk mengatasi berbagai persoalan ekonomi di negara itu. Di antaranya, persoalan polusi. (Baca: Kinerja Ekspor Rendah Dorong Pelemahan Rupiah)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Cina merupakan negara tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia pada 2014 yang nilainya mencapai US$ 16,5 miliar. Angka ini turun 22,7 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya sebesar US$ 21,3 miliar. Penurunan nilai ekspor ke Cina tersebut sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dari 7,6 persen pada 2013 menjadi 7,3 persen pada 2014.
?Jadi pelemahan ekonomi Cina ini sudah terlihat sebenarnya, bahwa dampak ke ekspor Indonesia ke Cina itu menurun, terutama komoditas ya. Nah itu memang Indonesia perlu harus shift bergeser segera (produk ekspor),? tutur Mirza. (Baca: Dua Sisi Dampak Penurunan BI Rate)
Menurut dia, pergeseran produk ekspor ini merupakan keharusan yang mesti diselesaikan pemerintah. Termasuk mencari investasi asing di sektor manufaktur. ?Jangan lagi komoditas, karena harga komoditas kemungkinan akan rendah untuk tiga sampai empat tahun ke depan,? ujarnya.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Fauzi Ichsan mengatakan, pelaku pasar saat ini tengah dalam tahap melihat dan menunggu kebijakan suku bunga BI. ?Apalagi trennya deflasi, ada kemungkinan BI menurunkan lagi (BI Rate). Pasar melihat itu,? tuturnya. (Baca: Rupiah Melemah Paling Dalam di Antara Negara Asia)
Meski begitu, dia berharap, BI tidak buru-buru menaikkan suku bunga lantaran defisit neraca transaksi berjalan yang masih tinggi. Selain itu, masih rendahnya realisasi investasi asing langsung membuat pemerintah mengandalkan investasi portofolio yang rentan untuk keluar.