Tumbuh Melambat, Utang Luar Negeri RI per Kuartal III Capai Rp 6.904 T
Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri Indonesia hingga akhir kuartal III 2020 mencapai US$ 408,5 miliar atau setara Rp 6.904 triliun, mengacu kurs Jisdor akhir September 2020 Rp 14.908 per dolar AS. Posisi utang ini tumbuh melambat dari 5,1% pada kuartal II 2020 menjadi 3,8% dipengaruhi oleh transaksi pembayaran ULN swasta.
ULN tersebut terdiri dari ULN sektor publik atau pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 200,2 miliar dan sektor swasta termasuk BUMN sebesar US$ 208,4 miliar.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan pertumbuhan ULN swasta pada akhir kuartal III 2020 tercatat 6%, menurun dibandingkan dengan kuarta sebelumnya sebesar 8,4%. "Perkembangan ini didorong oleh melambatnya pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan serta berlanjutnya kontraksi ULN lembaga keuangan," tulis Onny dalam keterangan resminya, Jakarta, Senin (16/11).
Pada akhir kuartal III 2020, pertumbuhan ULN perusahaan nonkeuangan tercatat 8,1%, melambat dibandingkan pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 11,6%. Sementara itu, ULN lembaga keuangan mencatat kontraksi yang berkurang menjadi sebesar 1% dari kontraksi pada kuartal sebelumnya sebesar 1,8%.
Saat ini, 77,4% dari total ULN swasta bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan.
Di sisi lain, ULN pemerintah juga tumbuh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya. ULN pemerintah tercatat sebesar US$ 197,4 miliar dolar pada akhir kuartal III 2020, atau tumbuh 1,6%, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya sebesar 2,1%.
Perlambatan pertumbuhan ini sejalan dengan penyesuaian portofolio di pasar Surat Berharga Negara Indonesia oleh investor asing akibat masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Namun demikian, perlambatan ULN tersebut tertahan oleh penerbitan Samurai Bond di pasar keuangan Jepang dan penarikan sebagian komitmen pinjaman dari lembaga multilateral pada kuartal III 2020.
"Ini merupakan bagian dari strategi pemerintah dalam menjaga portofolio pembiayaan untuk menangani pandemi dan pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional," kata Onny.
Hingga akhir September 2o20, total utang pemerintah mencapai Rp 5.756,87 triliun.
Kendati demikian, BI menilai ULN pemerintah tetap dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas. Belanja tersebut diantaranya mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial atau 23,7% dari total ULN pemerintah, sektor konstruksi 16,6%, sektor jasa pendidikan 16,5%, sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,8%, serta sektor jasa keuangan dan asuransi 11,5%.
Bank sentral menilai struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto pada akhir kuartal III 2020 sebesar 38,1%, sedikit meningkat dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 37,4%.
Sementara itu, struktur ULN Indonesia yang tetap sehat tercermin dari besarnya pangsa ULN berjangka panjang yang mencapai 89,1% dari total ULN. Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, BI dan pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya.
Selain itu, peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional. Hal tersebut dilakukan dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai ULN swasta melambat karena kegiatan ekonomi yang mengalami kontraksi. "Tidak ada kebutuhan swasta untuk melakukan utang ke luar negeri dan juga utang ke dalam negeri seperti terlihat di pertumbuhan kredit bank yang sangat rendah," kata Piter kepada Katadata.co.id, Senin (16/11).
Di sisi lain, perlambatan ULN pemerintah, menurut dia, terjadi karena pembiayaan lebih diutamakan dari dalam negeri yaitu dengan menerbitkan SUN rupiah. Penerbitan itu pun mayoritas melalui skema burden sharing dengan BI. Adapun ULN dan penerbitan SUN global hanya ditujukan untuk melengkapi saja terutama memenuhi kebutuhan cadangan devisa.
Meski ULN masih bertambah, Piter menyebutkan bahwa perlambatan pertumbuhan ini menunjukkan kondisi yang sehat. Dengan demikian, Indonesia tidak menambah beban sekaligus menunjukkan tak lagi ketergantungan terhadap ULN. "Kita punya alternatif sumber pembiayaan dari dalam negeri," ujar dia.