Penurunan Bunga Kredit Masih Lambat, BI Tahan Bunga Acuan 3,75%
Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,75%. BI 7 days reverse repo rate saat ini sudah merupakan yang terendah sepanjang sejarah.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility tetap 3%, demikian pula dengan bunga pinjaman atau lending facility sebesar 4,5%. Keputusan ini mempertimbangkan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan pemulihan ekonomi nasional.
"Keputusan ini konsisten dengan perkiraan inflasi yang tetap rendah serta stabilitas eksternal rupiah yang terjaga, serta upaya bersama mendukung pemulihan ekonomi dan memperkuat sinergi kebijakan lanjutan untuk bangun optimisme PEN," ujar Perry dalam dalam konferensi video, Kamis (12/10).
Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan sejak akhir 2018 sebesar 2,25%. Khusus sepanjang tahun ini, BI 7-days reverse repo rate telah turun 1,25%.
Perry menekankan penurunan suku bunga kredit perbankan masih lambat. Rata-rata bunga deposito dan bunga kredit modal kerja pada November 2020 tercatat sebesar 4,74% dan 9,32%, turun dibandingkan bulan sebelumnya masing-masing 5,18% dan 9,44%.
"Penurunan bunga kredit akan dipastikan berlanjut tahun depan seiring likuiditas yang longgar dan rendahnya suku bunga BI," katanya.
Hingga 15 Desember lalu, BI telah menginjeksi likuiditas pada tahun ini mencapai Rp 694,87 triliun, sebagian besar melalui penurunan GWM.
Inflasi pada November tercatat rendah sebesar 0,28% secara bulanan atau 1,59% secara tahunan. Inflasi inti tetap rendah sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat. BI memperkirakan inflasi sepanjang tahun ini akan berada di bawah perkiraan BI sebesar 2% hingga 4%.
Sementara itu, stabilitas nilai tukar rupiah juga terjaga seiring berlanjutnya aliran modal asing. Rupiah pada perdagangan kemarin menguat 0,63% secara rata-rata, meski melemah 0,04% secara poin to point dibandingkan akhir bulan lalu.
Perbaikan ekonomi domestik, menurut perry, juga terus berlangsung dan diperkirakan meningkat pada tahun depan. Mobilitas masyarakat dibeberapa daerah yang meningkat, demikian pula dengan PMI manufaktur dan ekspektasi konsumen.
BI memperkirakan ekonomi pada kuartal IV akan positif, tetapi terkontraksi berkisar antara 1% hingga 2% untuk sepanjang tahun ini.
Ekonomi tahun depan diperkirakan membaik dan tumbuh 4,8% hingga 5,8%. Namun, pemulihan ekonomi akan bergantung pada vaksinasi dan disiplin protokol kesehatan..
Perbaikan ekonomi domestik juga sejalan dengan kondisi ekonomi global yang membaik akibat peningkatan mobilitas dan dampak stimulus kebijakan di berbagai negara terutama Amerika Serikat dan Tiongkok. Kondisi ini dikonfirmasi oleh perkembangan sejumlah indikator dini pada November 2020.
BI memproyeksi ekonomi global akan tumbuh dikisaran 5% pada 2021 setelah terkontraksi 3,8% pada 2020. Harga komoditas diperkirakan meningkat dan ketidakapastian di pasar global juga akan menurun seiring dengan ketersediaan vaksin di tengah likuiditas global yang besar dan suku bunga rendah.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakan sebesar 3,75% pada bulan ini. "Mempertimbangkan kondisi krisis kesehatan yang berkepanjangan dan potensi penerapan pembatasan sosial yang lebih ketat, pelonggaran moneter dengan pemotongan suku bunga akan menjadi terlalu membebani dan berisiko bagi stabilisasi rupiah," tulis Riefky dalam risetnya yang diterima Katadata.co.id, Kamis (17/12).
Kendati demikian, penurunan bunga acuan BI bulan lalu menjadi 3,75% dalam upaya mendorong pemulihan ekonomi tidak tercermin pada depresiasi rupiah. Mata uang Garuda relatif terkendali di tengah kondisi pandemi yang berkepanjangan dan tidak menentu.
Adapun hingga kini, menurut Riefky, belum ada tanda-tanda perbaikan pada permintaan agregat dalam jangka pendek.Kenaikan inflasi pada bulan lalu disebabkan oleh kenaikan harga akibat kurangnya pasokan bahan pangan selama musim hujan.
Meski ekspor impor membaik pada November, pemulihan ekonomi secara keseluruhan masih belum pasti karena kondisi masalah kesehatan dan efektivitas vaksin di masa mendatang. Rencana pembatasan sosial yang lebih ketat seiring kasus yang terus meningkat juga harus diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan oleh pemerintah dan juga bank sentral.
"Investor akan melihat hal ini sebagai gambaran pemulihan ekonomi yang lebih suram dan mereka akan menahan atau mengembalikan aset mereka ke pasar yang lebih aman," ujarnya.