Lambatnya Penurunan Bunga Kredit Perbankan Saat BI Agresif
Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,5% pada bulan ini. Sejak awal pandemi, BI memperlonggar kebijakan moneter seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Meski sepanjang tahun lalu penurunan bunga kebijakan sebesar 125 bps, tapi penurunan suku bunga kredit masih cenderung terbatas. Gubernur BI Perry Warjiyo berharap perbankan dapat mempercepat penurunan suku bunga kredit.
"Ini sebagai upaya bersama untuk mendorong kredit atau pembiayaan bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi nasional," kata, Kamis (18/2).
Penurunan suku bunga kredit hanya sebesar 83 bps ke level 9,7% selama 2020. "Lambatnya penurunan suku bunga kredit disebabkan oleh masih tingginya suku bunga dasar kredit perbankan," ujar Perry.
Selama 2020, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan baru turun sebesar 75 bps menjadi 10,11% di tengah penurunan bunga acuan dan deposito satu bulan. Hal ini menyebabkan tingginya jarak alias spread antara SBDK dan suku bunga acuan plus deposito satu bulan masing-masing sebesar 6,36% dan 5,84%.
Perry menyoroti SBDK tertinggi tercatat pada bank-bank Badan Usaha Milik Negara sebesar 10,79%. Diikuti oleh Bank Pembangunan Daerah 9,80%, Bank Umum Syariah Milik Negara 9,67% dan Kantor Cabang Bank Asing 6,17%.
Sepanjang 2020, bank sentral juga telah menambah likuiditas di perbankan sebesar Rp 750,38 triliun atau mencapai 4,86% dari produk domestik bruto. Kucuran dana tersbeut terdiri dari Rp 726,57 triliun pada 2020 dan sebesar Rp 23,81 triliun per 16 Februari 2021.
Kondisi likuiditas yang longgar pada Januari 2021 telah mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga yakni 31,64% dan pertumbuhan DPK yang tinggi sebesar 10,57% secara tahunan.
Di tengah kondisi likuiditas yang longgar dan pertumbuhan DPK yang tinggi, Perry menyebutkan bahwa perbaikan fungsi intermediasi dari sektor keuangan belum kuat.
Hal tersebut tercermin dari kontraksi pertumbuhan kredit pada Januari 2021 yang sebesar 1,92%, dibandingkan dengan kontraksi 2,41% pada Desember 2020. "Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia merevisi proyeksi pertumbuhan kredit/pembiayaan pada tahun 2021 dari semula pada kisaran 7%-9% menjadi 5%-7%," ujarnya.
Untuk menggenjot kredit, Bank Indonesia juga mengambil kebijakan pembebasan uang muka atau 0% bagi kredit kendaraan bermotor. BI juga melonggarkan rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit properti alias kredit pemilikan rumah (KPR) menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis hunian. Jadi, konsumen tak perlu membayar uang muka karena kebutuhan dana dalam memperoleh kredit properti ditanggung oleh bank.
Ketentuan tersebut berlaku efektif 1 Maret sampai 31 Desember 2021. Perbankan yang dapat menyalurkan kebijakan kredit ini harus memenuhi kriteria rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) di bawah 5%.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky menyampaikan bahwa masalah kredit saat ini adalah dari sisi permintaan. Dunia usaha belum kembali pulih sehingga permintaan kredit yang muncul sebagian besar hanya untuk operasional perusahaan atau bertahan di tengah pandemi agar tidak bangkrut. "Jadi bukan untuk kegiatan yang produktif seperti ekspansi usaha," kata Riefky kepada Katadata.co.id, Kamis (18/2).
Mengetahui hal ini, perbankan berusaha semaksimal mungkin agar NPL tidak naik. Salah satu caranya adalah dengan menahan SBDK untuk menjaga agar kredit yang tercipta berkualitas bagus.
Riefky menilai, hal tersebut memang tidak sesuai dengan keinginan BI agar SBDK bisa turun. Namun, perbankan juga memiliki masalah kualitas kredit. Dengan begitu, dibutuhkan koordinasi antara regulator dan perbankan agar suku bunga kredit bisa turun.