Belanja Modal Melonjak 253%, Defisit APBN per Februari Tembus Rp 64 T
Kementerian Keuangan mencatat, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) per Februari 2021 mencapai Rp 63,6 triliun. Kekurangan anggaran terjadi karena belanja modal pemerintah melonjak di tengah penerimaan pajak yang masih terkontraksi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit tersebut naik 2,8% dari periode yang sama tahun lalu Rp 61,8 triliun. "Namun jika dilihat persentasenya terhadap produk domestik bruto, menurun dari 0,4% menjadi 0,36%," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa edisi Maret 2021, Selasa (23/3).
Defisit terjadi karena pengeluaran negara tercatat Rp 282,7 triliun, sedangkan pendapatan negara Rp 219,2 triliun. Belanja negara tumbuh 1,2% dari realisasi Februari 2020 yakni Rp 279,4 triliun.
Pengeluaran negara terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 179,7 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp 103 triliun. Belanja pemerintah pusat melesat 11,1% dibanding realisasi tahun lalu yakni Rp 161,7 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan belanja pemerintah pusat didorong oleh melonjaknya belanja modal kementerian/lembaga. "Selain karena procurement, salah satunya terjadi karena adanya akselerasi belanja modal yang awalnya di-refocusing pada 2020 dan masuk di 2021," ujarnya.
Belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja kementerian/lembaga yang tumbuh 15,8% menjadi Rp 97 triliun dan belanja nonkementerian/lembaga yang naik 6,1% menjadi Rp 82,7 triliun. Belanja kementerian/lembaag, terdiri dari belanja pegawai Rp 29,2 triliun, belanja barang Rp 18,2 triliun, belanja modal Rp 22,8 triliun, dan belanja bantuan sosial Rp 26,8 triliun.
Belanja pegawai tercatat kontraksi 0,8% dari Rp 29,4 triliun pada periode yang sama tahun lalu karena adanya pengendalian belanja pegawai untuk ASN, TNI, dan Polri., Belanja barang naik 13,5% dari Rp 16 triliun karena adanya program vaksinasi. Sedangkan belanja modal melesat 253% dari Rp 6,5 triliun ditopang oleh realisasi modal jalan, irigasi, dan jaringan oleh Kementerian PUPR dan belanja modal peralatan dan mesin oleh Polri.
Bendahara Negara menyebut distrupsi pandemi Covid-19 tidak menghambat seluruh proyek pemerintah. "Program-program itu mungkin slowing down tapi tidak berhenti atau yang kemudian menjadi mangkrak. Ini yang kami jaga sehingga bisa pulih secara bertahap," ujarnya.
Di sisi lain, belanja bantuan sosial minus 16% dari Rp 31,9 triliun. Ini disebabkan oleh membaiknya arus kas BPJS Kesehatan, masih adanya proses verifikasi dan validasi pencairan prorgam Kartu Indonesia Pintar kuliah, dan perubahan komponen bantuan program keluarga harapan.
Sementara itu, belanja nonkementerian/lembaga tumbuh 6,1% dari Rp 77,9 triliun. Realisasi itu terdiri dari antara lain pengeluaran subsidi Rp 12,4 triliun dan belanja lain-lain Rp 300 miliar.
Sri Mulyani juga mencatat pendapatan negara tumbuh tipis 0,7% dari Rp 217,6 triliun pada Februari 2020. Pemasukan negara, terdiri dari penerimaan pajak yang tuurn 4,8% mnenjadi Rp 11,9 triliun, kepabeanan dan cukai naik 42,1% menjadi Rp 35,6 triliun, pendapatan negara bukan pajak naik 3,7% menjadi Rp 37,3 triliun, dan hibah minus 69,1% menjadi Rp 100 miliar.
Adapun keseimbangan primer tercatat minus Rp 23,2 triliun. Pembiayaan anggaran mencapai Rp 273,1 triliun sehingga terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran Rp 209,3 triliun.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalan menilai, defisit APBN belum mengkhawatirkan. "Ini dengan posisi utang pemerintah yang masih di kisaran 40% PDB," ujar Piter kepada Katadata.co.id, Selasa (23/2).
Ia mendukung langkah pemerintah untuk mendahulukan percepatan pemulihan ekonomi. Dengan demikian, defisit anggaran mau tidak mau harus meningkat sebagai konsekuensinya.
Pemerintah menargetkan defisit APBN pada tahun ini akan turun menjadi 5,7% pada tahun ini, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.