Sri Mulyani dan Gubernur BI Meramal Lima Risiko Rupiah Tahun Depan
Pemerintah memproyeksi nilai tukar rupiah bergerak pada rentang Rp 13.900-15.000 per dolar AS pada tahun depan. Rupiah berpotensi menguat meski masih akan menghadapi berbagai ketidakpastian.
"Dengan ketidakpastian yang ada, masih ada kecenderungan penguatan rupiah pada tahun depan meskipun terbatas," kata Menter Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (31/5).
Sri Mulyani menjabarkan, ada lima risiko yang akan menghantui pergerakan rupiah pada tahun depan. Pertama, appetite investor asing di pasar keuangan domestik yang belum pulih dan masih relatif terbatas.
Kedua, normalisasi kebijakan moneter global berlangsung cepat dari perkiraan. Menurut Sri Mulyani, salah satu kebijakan moneter yang sangat berpengaruh berasaldaroo Amerika Serikat (AS). Jika kebijakan moneter di Negeri Paman Sam diperketat, ia memperkirakan terjadinya aliran modal asing keluar dari emerging market, termasuk Indonesia.
"Tidak bisa dinafikan outlook inflasi AS akan menimbulkan tekanan bagi kebijakan moneter dan ini harus diwaspadai," ujar dia.
Ketiga, pemulihan ekonomi domestik yang dapat meningkatkan defisit transaksi berjalan akibat impor yang pulih lebih cepat. Keempat, pemulihan permintaan mendorong inflasi relatif lebih tinggi dari internasional, sementara kebijakan moneter longgar masih dibutuhkan.
Kelima, kebutuhan refinancing valuta asing yang tinggi sebagai konsekuensi pembiayaan pemulihan krisis. "Inilah pentingnya ekspor dan modal asing masuk agar permintaan untuk valas bisa diseimbangkan dengan pasokannya dengan tetap menjaga nilai tukar yang kompetitif," kata Sri Mulyani.
Kendati menghadapi berbagai risiko, Bendahara Negara menilai bahwa real effective exchange rates (REER) Indonesia saat ini masih undervalued sehingga terdapat potensi apresiasi pada periode ke depan. REER adalah indikator untuk menjelaskan nilai mata uang suatu negara relatif terhadap beberapa mata uang negara-negara lainnya yang telah disesuaikan dengan tingkat inflasi pada tahun tertentu atau indeks harga konsumen negara tertentu.
Dia menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang diperkirakan dapat mendorong penguatan rupiah, yakni pemulihan ekonomi global dan domestik serta aktivitas perdagangan internasional. Selain itu, ada dampak positif dari beberapa langkah reformasi struktural seperti omnimbus law, pembentukan Lembaga Pengelola Invetsasi.
Faktor lainnya menurut dia, yakni stance kebijakan moneter AS yang masih akomodatif dan langkah reformasi sektor keuangan untuk memperdalam pasar.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo justru lebih optimistis dengan kondisi nilai tukar rupiah pada 2022 dengan memproyeksi Rp 14.100-14.500 per dolar AS. Namun, dia mengatakan bahwa Indonesia harus bersiap pada tahun depan jika Bank Sentral AS, The Fed merubah stance kebijakan moneternya. "Karena semua ini akan berpengaruh terhadap imbal hasil surat berharga negara kita maupun nilai tukar rupiah sehingga perlu diantisipasi," ujar Perry dalam kesempatan yang sama.
Meski begitu, ia menekankan bahwa The Fed belum akan merubah kebijakannya pada tahun ini. Hal tersebut sudah berkali-kali ditegaskan bank sentral AS.
Dengan penegasan tersebut, menurut Perry, rupiah saat ini cenderung stabil dan lebih kuat dibanding negara-negara lain. Stabilitas rupiah didukung langkah stabilisasi BI serta masuknya aliran modal asing.