Rupiah Melemah 14.500/US$ Tertekan Sinyal Perpanjangan PPKM Darurat
Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,10% ke level Rp 14.483 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan di pasar spot hari ini. Sinyal perpanjangan penerapan PPKM darurat yang membatasi aktivitas masyarakat menjadi faktor utama penekan kurs rupiah.
Mengutip Bloomberg, rupiah terus bergerak melemah dari posisi pembukaan ke level Rp 14.950 per dolar AS hingga pukul 09.10 WIB. Ini melanjutkan pelemahan dari posisi penutupan kemarin di level Rp 14.480 per dolar AS.
Mata uang negara-negara Asia pagi ini bergerak bervariasi. Dolar Hongkong melemah 0,01%, dolar Singapura 0,13%, yen Jepang 0,01%, peso Filipina 0,11%, rupee India 0,13% dan bath Thailand 0,11%. Sementara, yuan China berhasil menguat 0,02% bersama ringgit Malaysia 0,06%, won Korea Selatan 0,10% serta dolar Taiwan 0,02%.
Anlis pasar uang, Ariston Tjendra mengatakan pengetatan mobilitas yang sedang berlangsung masih menjadi beban utama pelemahan rupiah. Ia memprediksikan rupiah bisa melemah hingga level Rp 12.520 per dolar AS, dengan potensi support di kisaran Rp 14.460 per dolar AS.
"PPKM darurat yang berpotensi diperpanjang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pelaku pasar. Jelas ini bisa menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia." kata Ariston.
Sinyal perpanjangan PPKM darurat hingga 6 pekan datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang termuat dalam bahan paparannya saat rapat kerja dengan DPR RI awal pekan ini.
Meski berpotensi melemah, Ariston memperkirakan pelemahan rupiah tidak akan terlalu dalam imbas keputusan bank sentral AS yang kemungkinan kembali melonggarkan kebijakan moneternya.
"Pernyataan Jerome Powell di hadapan anggota komite jasa keuangan DPR bahwa kebijakan moneter AS masih belum akan berubah karena kondisi tenaga kerja yang belum membaik seperti yang diharapkan bisa membantu menahan pelemahan rupiah." kata Ariston.
Gubernur The Fed Jerome Powell pada bulan lalu memberi sinyal untuk mempertahankan suku bunga rendah demi menjaga pemulihan ekonomi negeri paman sam. Ia mengatakan tidak akan terburu-buru mengambil langkah moneter menaikkan suku bunga hanya karena kekhawatiran kenaikan inflasi.
"Kami tidak akan menaikkan suku bunga secara pre-emptive karena kami takut akan kemungkinan terjadinya inflasi, kami akan menunggu bukti inflasi aktual atau ketidakseimbangan lainnya," kata Powell dalam sidang bersama panel Dewan Perwakilan Rakyata AS, seperti dikutip dari Reuters, Selasa, (22/6).
Beberapa minggu sebelumnya, Powell juga mengatakan kepada panel bahwa The Fed masih akan mempertahankan suku bunga rendah hingg akhir tahun depan. Rencana kenaikan suku bunga The Fed baru akan dilakukan 2023 mendatang, lebih cepat setahun dari rencana semula.
Sementara itu, Departemen Ketenagakerjaan AS Selasa lalu merilis laporan terbaru kondisi inflasi AS di bulan Juni yang kembali mencetak rekor di level 5,4%. Angka ini masih melanjutkan tren kenaikannya sejak awal tahun, bahkan menjadi yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Kinerja ini melampaui prediksi yang dilakukan Bloomberg, para ekonom memprediksikan inflasi bulan juni naik 0,9% dari bulan Mei dan berada di level 4,9% secara tahunan.