Disoroti DPR, Kemenkeu Ungkap Alasan Tagih Utang BLBI Tommy Soeharto
Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memanggil Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto pada pekan lalu untuk menyelasaikan hak tagih negara atas dana BLBI sebesar Rp 2,61 triliun. Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban menjelaskan, pemanggilan tersebut sesuai dengan surat pemberitahuan yang diperoleh Kementerian Keuangan dari Jaksa Agung pada tahun lalu.
"Pada 8 September 2020, Jaksa Agung mengirimkan surat pada kami dan memberitahukan bahwa dengan putusan peninjauan kembali di Mahkamah Agung, seluruh piutang TPN (PT Timor Putra Nasional) kembali menjadi hak pemerintah sehingga kita harus menagihnya," kata Rionald yang juga menjabat sebagai Satgas BLBI dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu, Kamis (2/9).
Pernyataan tersebut disampaikan Rio setelah salah satu anggota Komisi XI DPR RI fraksi Gerindra Kamrussamad mempertanyakan kejelasan pemanggilan Tommy pekan lalu. Kamrussamad menyebut, perusahaan Tommy sebenarnya tidak menerima injeksi pendanaan dalam program BLBI 22 tahun silam.
"TPN itu tidak pernah menerima dana dari BLBI menurut dokumen yang kami terima, tetapi kenyataannya justru dipanggil sebagai bagian daripada obligor," kata Kamrussamad dalam rapat yang sama dengan Rio.
Dia juga menilai, Kementerian Keuangan perlu mengklarifikasi terkait kondisi aset TPN saat ini yang sudah dikuasai pemerintah. Menurut dia, pemerintah melalui BPPN telah menguasai aset TPN dan menjualnya. Hasil penjualannya juga sudah diterima negara.
Kamrussamad bahkan mempersoalkan sikap salah satu anak buah Sri Mulyani yang membagikan berita pemanggilan ketiga Tommy melalui media sosial Instagram. Dia menilai pemanggilan tersebut seharusnya mengikuti ketentuan yang sudah ada, yakni hanya dilakukan melalui koran.
Mahkamah Agung pada 2018 telah menolak permohonan Peninjauan Kembali ke-2 yang diajukan oleh PT TPN. Hal ini termuat dalam Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 716 PK/PDT/2017 tanggal 13 Desember 2017 yang telah diberitahukan kepada para pihak pada bulan Juli 2018.
Kementerian Keuangan dalam siaran pers 3 Agustus 2018 menjelaskan, kemenanganan di MA ini membuat mengukuhkan hak pemerintah atas dana yang sudah disetor TPN ke negara Rp 1,2 trilun. Selain itu, terdapat Rp 2,3 triliun sisa utang TPN ke negara.
Perkara yang melibatkan PT TPN sebagai Pemohon PK Kedua, serta PT Bank Mandiri Tbk. dan Kemenkeu sebagai Para Termohon PK Kedua, merupakan perkara pelik yang telah dimulai sejak tahun 2006. TPN mengajukan permohonan PK ke-2 atas Putusan PK Perkara 928 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap Putusan PK Perkara 118 di PN Jakarta Utara.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pekan lalu mengatakan, Satgas BLBI akan terus melakukan pemanggilan para obligor dan debitor BLBI untuk menagih hak pemerintah. Ia akan mengumumkan pemanggilan obligor dan debitor kepada publik jika yang bersangkutan mangkir dalam dua kali panggilan.
"Bila dipanggil satu kali tidak ada respons, dua kali tidak ada respons, maka memang kami mengumumkan ke publik siapa saja beliau itu dan kemudian akan dilakukan langkah selanjutnya," kata Sri Mulyani, Jumat (27/8).
Selama ini, menurut dia, pemanggilan pertama kali dan kedua kali dilakukan secara personal atau tidak dipublikasikan kepada masyarakat. Hal itu, menurut dia, lantaran pemerintah menghargai niat baik obligor dan debitor yang ingin menyelesaikan perkara tersebut.
Sementara itu, Menteri Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, obligor yang tetap mangkir dari pemanggilan ketiga akan diupayakan untuk penyelesaian lebih lanjut. Namun, dia tidak menampik kemungkinan adanya jerat hukum jika sudah ditetapkan wanprestasi.
"Langkah-langkah berikutnya akan tetap dilakukan sampai ini jelas masalahnya, namun kalau tidak bisa juga dianggap wanprestasi kalau pada satnya titik tertentu ditentukan oleh satgas tetap tidak jelas, kalau sudha wanprestasi artinya sudah melangar hukum, kita akan kesana nanti," kata Mahfud saat hadir dalam Seremoni Penguasaan Aset Eks BLBI, Jumat (27/8).
Dia menjelaskan proses penyelesaian untuk penguasaan aset eks BLBI sejauh ini masih menggunakan jalur perdata. Namun dia juga membuka peluang persoalannya bisa diselesaikan secaar pidana apabila memenuhi memenuhi kondisi tertentu. Kondisi yang dimaksud Mafud yakni jika obligor berupaya memberikan keterangan palsu, mengalihkan aset yang secara sah sudah dimiliki negara, bahkan kemungkinan adanya pemalsuan dokumen.