RUU HPP Sudah Final, Bagaimana Nasib PPN Sembako Hingga Kesehatan?
Komisi XI DPR RI pada Rabu (29/8) menyepakati Rancangan Undang-Undang Ketentutan Umum dan Tata Cara perpajakan (RUU KUP) yang kini berganti nama menjadi RUU Harmoniasi Peraturan perpajakan (HPP). Dalam draf RUU yang akan dibawa ke sidang paripurna, pemerintah batal mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN sembako.
"Pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mendengarkan dan berkomitmen memberikan dukungan bagi kelompok masyarakat bawah. Maka barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN," kata Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dalam cuitannya, Kamis (30/9).
Hal ini tertuang dalam pasal 16B BAB IV tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di draf RUU HPP yang diperoleh Katadata.co.id. Pasal tersebut mengatur pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak untuk barang dan jasa yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional.
Terdapat delapan jenis barang dan jasa dalam kategori tersebut, antara lain barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa angkutan umum serta jasa tenaga kerja.
Pemerintah membatasi jenis sembako yang dibebaskan dari PPN, mencakup beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran.
Sementara untuk jasa kesehatan, terdapat kategori tertentu yang akan dibebaskan dari pajak, jin jasa kesehatan yang ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan jasa kesehatan tertentu. Kategori yang kedua ini memiliki beberapa rincian lagi, yakni:
- Jasa dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi
- Jasa dokter hewan
- Jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi dan ahli fisioterapi
- Jasa kebidanan dan dukun bayi
- Jasa paramedis dan perawat
- Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, lab kesehatan dan sanatorium
- Jasa psikolog dan psikiater
- Jasa pengobatan alternatif, termasuk oleh paranormal
Kemudian fasilitas pembebasan PPN juga diberikan untuk jasa pendidikan, meliputi, jasa pendidikan sekolah dan jasa penyelenggaran pendidikan luar sekolah. Jasa pendidikan sekolah yang dimaksud, yakni pendidikan umum, kejuruan, pendidikan luar basa, pendidikan kedinasi, keagamanan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional.
Namun ketentuan tersebut masih dalam tahap rancangan mengingat baru disepakati pada pembahasan tingkat I dengan Komisi XI DPR RI. RUU HPP ini masih perlu memperoleh persetujuan dalam Rapat Paripurna DPR.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 13 September lalu menjelaskan, terdapat lima poin utama perubahan dalam RUU HPP. Perubahan ini mencakup revisi pada bagian ketentuan umum hingga penambahan beberapa jenis objek pajak dan cukai yang baru.
Salah satu rencana penambahan objek pajak yang menuai polemik dari masyarakat yakni pengenaan partambahan nilai (PPN) bagi barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan. Kendati demikian, Sri Mulyani menjelaskan pengenaan PPN ketiga jenis barang dan jasa tersebut akan diberlakukan secara terbatas.
"PPN hanya akan dikenakan untuk barang kebutuhan pokok tertentu yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi misalnya, beras atau daging berkualitas khusus yang biasanya berharga mahal," kata Sri Mulyani.
Sementara untuk jasa kesehatan, pengenaan PPN ditujukan terhadap jasa kesehatan yang dibayarkan tidak melalui sistem JKN. Sri Mulyani mencontohkan jenis layanan yang mungkin akan dikenakan seperti jasa klinik kecantikan dan estetika atau operasi pelastik yang sifatnya nonesensial.
Sementara itu, untuk jasa pendidikan, pengenaan PPN ditujukan untuk jasa pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan yang bersifat komersial. Termasuk bagi lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Perluasan objek PPN baru tersebut juga dibarengi perubahan pada ketentuan penarifan, dari semula satu tarif yakni 10%, menjadi multi tarif. Sri Mulyani menjelaskan nantinya akan ada tarif umum yang dinaikkan menjadi 12%, serta diperkenalkan juga range tarif baru dari 5%-25%.