BI Pertahankan Bunga Acuan 3,5%, Optimistis Kinerja Ekonomi Membaik
Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya tetap rendah di level 3,5%. Keputusan ini diambil di tengah lonjakan inflasi banyak negara maju dan rencana tapering off Bank Sentral AS. Bank Sentral optimistis kinerja perekonomian semakin membaik memasuki akhir tahun ini.
"Rapat Dewan Gubernur BI pada 17-18 November 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 days reverse repo rate sebesar 3,5%," Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers hasil Rapat Dewan Gubernur bulan November, Kamis (18/11).
Suku bunga fasilitas simpanan alias deposito facility tetap 2,75%. Demikian pula dengan bunga pinjaman atau lending facility tetap 4,25%. BI telah menurunkan suku bunga acuan sejak akhir 2018 sebesar 2,5%. Pada tahun ini, BI 7-days reverse repo rate telah turun 0,25% ke level terendah sepanjang sejarah.
Perry mengatakan, keputusan ini sejalan dengan perlunya BI menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan di tengah ketidakpastian global, inflasi yang rendah, dan upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. Saat ini, menurut dia, kondisi inflasi dan nilai tukar rupiah hingga terjaga dengan baik di tengah prospek ketidakpastian global yang belum sepenuhnya mereda.
Ia mencatat nilai tukar rupiah pada 17 November 2021 melemah 0,53% secara point to point dan 0,65% secara rata-rata dibandingkan Oktober. Pelemahan rupiah disebabkan aliran masuk masuk yang terbatas di tengah prospek positif perekonomian domestik dan terjaganya pasokan valas domestik dari surplus perdagangan. Rupiah sepanjang tahun ini terdepresiasi 1,35% dibandingkan akhir tahun .
"Ini masih lebih rendah dibandingkan depresiasi negara berkembang lainnya, seperti India, Malaysia dan Filipina," kata dia.
Di sisi lain, inflasi juga terjaga tetap rendah dan mendukung perekonomian. Indeks Harga Konsumen pada Oktober tercatat inflasi 0,12% secara bulanan, sedangkan inflasi secara tahun kalender mencapai 0,93%. BI memperkirakan inflasi tahun ini masih akan ada di kisaran 2% hingga 4%
Ia menjelaskan, pemulihan ekonomi dunia saat ini tengah menghadapi gangguan rantai pasokan dan keterbatasan suplai energi yang menghambat pemulihan ekonomi global. Berbagai negara seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang mengalami perlambatan ekonomi akibat kenaikan kasus Covid-19 varian delta dan gangguan rantai pasok dan energi.
Di sisi lain. pemulihan ekonomi di Eropa tetap kuat didorong pembukaan ekonomi yang semain luas. Ia pun memperkirakan pemulihan ekonomi global masih akan berlanjut pada kuartal keempat tahun ini. Hal ini dikonfrimasi oleh sejumlah data indikator dini hingga Oktober 2021 yang menunjukkan keyakinan konsumen dan ritel serta berkurangnya keterbatasan energi di Cina.
"Dengan perkembangan itu, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini mencapai 5,7% dan tetap akan naik pada tahun 2022," kata dia.
Meski demikian, ketidakpastian ekonomi global belum mereda, seiring normalisais moneter global yang kemungkinan lebih cepat aibat lonjakan inflasi di berbagai negara. Hal ini akan memberikan tekanan pada nilai tukar negara berkemban, termasuk Indonesia.
Sementara itu, menurut dia, perekonomian domestik akan berlanjut pada kuartal keempat. Ekonomi dalam negeri tumbuh 3,51% secara tahunan lebih lambat dibandingkan kuartal kedya.
"Kinerja ekonomi mendekati akhir tahun ini akan membaik didukung perbaikan kinerja ekspor, neraca fiskal pemerintah, serta peningkatan konsumsi investasi," kata dia.
Membaiknya perekonomian domestik, menurut Perry, tercermin dari data-data indikator dini hingga Oktober 2021. Indeks PMI manufaktur pada Oktober mencatatkan rekor tertinggi mencapai 57,2, keyakinan konsumen juga berada pada zona optimistis dengan indeks mencapai 113.
Kinerja ekspor dan impor pada Oktober juga terus membaik. BPS mencatat ekspor dan surplus neraca perdagangan pada Oktober mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah masing-masing mencapai US$ 22 miliar dan US$ 5,7 miliar.