Ekonomi Masih Lesu, Jepang Akan Gelontorkan Stimulus Hampir Rp 7.000 T
Jepang meluncurkan paket stimulus mencapai 55,7 triliun yen atau setara Rp 6.927 triliun untuk mendorong perekonomiannya yang terpukul oleh pandemi Covid-19. Stimulus ini lebih besar dibandingkan tahun lalu dan berlawanan dengan langkah berbagai negara lain yang mulai bersiap menarik știmulus.
Stimulus ini membengkak seiring pengeluaran yang besar dan dianggap tak terkait dengan pandemi, antara lain pemberian uang tunai untuk orang-orang berusia 18 tahun ke bawah. Anggaran untuk bantuan tunai ini kemungkinan akan dibiayai dengan menerbitkan tambahan surat utang negara pada tahun ini.
Pengeluaran besar-besaran akan menggarisbawahi tekad Perdana Menteri Fumio Kishida untuk fokus pada peningkatan ekonomi dan mendistribusikan kembali kekayaan ke rumah tangga.
"Kebijakan moneter reflasi (usaha mengembalikan nilai uang seperti sebelum inflasi) dan kebijakan fiskal go-big-or-go-home yang dipelopori oleh mantan Perdana Menteri Shinzo Abe sekarang menjadi ortodoksi," kata James Brady, seorang analis di Teneo, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (19/11).
Paket tersebut mencakup pembayaran tunai untuk rumah tangga, subsidi untuk perusahaan yang terkena COVID, serta cadangan yang disisihkan untuk pengeluaran darurat pandemi.
Ukuran pengeluaran ini jauh lebih besar dari 30-40 triliun yen yang diperkirakan oleh pasar,dan sebagian besar akan didanai oleh anggaran tambahan sekitar 32 triliun yen yang akan disusun tahun ini. Sisanya kemungkinan akan dibiayai anggaran tahun depan.
Paket total, yang mencakup dana yang tidak mengarah pada pengeluaran langsung, kemungkinan mencapai 78,9 triliun yen.
"Kami akan memobilisasi semua alat yang tersedia untuk mendanai paket tersebut, termasuk menerbitkan obligasi yang menutupi defisit," kata Kishida.
Jepang telah tertinggal dari negara lain dalam memulihkan ekonomi dari kemerosotan akibat pandemi. Kondisi ini memaksa pembuat kebijakan untuk mempertahankan dukungan fiskal dan moneter besar-besaran bahkan ketika negara-negara maju lainnya menghentikan stimulus.
Tiga paket pengeluaran besar-besaran Jepang untuk melawan pandemi telah meninggalkannya dengan utang jangka panjang yang luar biasa kira-kira dua kali lipat dari ekonominya yang senilai US$5 triliun.
Namun, pembuat kebijakan berharap pengeluaran baru akan membantu menopang ekonomi, yang menyusut lebih dari yang diperkirakan pada kuartal ketiga karena pukulan terhadap konsumsi dan ekspor dari pembatasan pandemi dan gangguan pasokan global.
Ekonomi Jepang pada kuartal ketiga tahun ini minus 3% secara tahunan akibat lonjakan kasus Covid-19, setelah berhasil tumbuh pada 1,3% pada kuartal sebelumnya. Ekonomi terbesar ketiga dunia itu sebenarnya tidak pernah memberlakukan lockdown atau penguncian wilayah, tetapi memberlakukan keadaan darurat dengan meminta bisnis untuk menutup atau membatasi jam kerja.
Kebijakan tersebut tampaknya memukul konsumsi masyarakat. Konsumsi masyarakat yang menjadi salah satu penyumbang terbesar ekonomi Jepang merosot 1,1% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Jepang saat ini juga tengah dihantui oleh lonjakan inflasi pada harga grosir yang meroket ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir pada Oktober, menunjukkan kenaikan harga-harga di tingkat perusahaan. Lonjakan pada inflasi harga grosir Jepang terutama disebabkan masalah rantai pasok yang belum membaik. Selain itu, peningkatnya tekanan biaya, ditambah dengan melemahnya yen turut menggelembungkan harga barang-barang impor.