Putin Tak Gentar Dihantam Sanksi AS, Bagaimana Kekuatan Ekonomi Rusia?
Tindakan Rusia yang memulai perang dengan Ukraina memicu sederet sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan sekutunya. Amerika meyakini sanksi-sanksi ini akan memukul ekonomi Rusia dan menghentikan invasinya. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin nyatanya hingga kini masih bergeming.
Bagaimana sebenarnya kekuatan ekonomi Rusia, terutama menghadapi sanksi negara Barat?
Rusia saat ini sebenarnya masih berjuang untuk memulihkan ekonomi dari dampak pandemi. Dana Moneter Internasional (IMF) maupun Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Rusia akan melambat tahun ini dan tahun depan. Proyeksi ini bahkan dikeluarkan sebelum terjadinya ketegangan antara Rusia dan Ukraina beberapa pekan terakhir.
IMF memperkirakan, ekonomi Rusia hanya tumbuh 2,8% pada tahun ini setelah tahun lalu bisa tumbuh 4,7%. Perlambatan berlanjut tahun depan dengan perkirakan tumbuh hanya 2,1%. Proyeksi Bank Dunia lebih pesimistis, perekonomian Negara Beruang Merah itu diperkirakan hanya tumbuh 2,4% tahun ini dan menyusut hanya 1,8% pada tahun depan.
"Dengan tingkat vaksinasi yang masih rendah, langkah-langkah pengendalian Covid-19 dapat dilakukan untuk tahun depan, yang akan membebani pertumbuhan secara signifikan," kata Bank Dunia dalam laporannya akhir Desember lalu.
Menurut Our World In Data, tingkat vaksinasi Rusia mencapai 54,3% dari populasi pada tanggal 17 Februari 2022 sementara yang sudah divaksin lengkap atau dua dosis sebesar 49,7%. Rusia juga sudah melakukan vaksin booster yang mencapai 9,1% dari populasi.
Bukan hanya masalah pandemi, Rusia juga menghadapi tantangan inflasi yang menanjak. Inflasi Januari 2022 menyentuh 8,73% secara yoy, rekor tertinggi sejak awal 2016. Kenaikan harga-harga ini mendorong bank sentral mengerek suku bunganya 100 bps menjadi 9,5% yang merupakan tertinggi dalam lima tahun.
Tantangan lainnya, negara kaya minyak dan gas alam itu menghadapi risiko dari ambisi global mendukung transisi ekonomi rendah karbon. Dalam laporan Bank Dunia, jika Rusia ikut mengimplementasikan mekanisme harga karbon, maka perekonomiannya akan terkoreksi 3,8% pada 2050.
Bank Dunia menyebut, Rusia terus menghadapi potensi pertumbuhan yang relatif rendah. Jika tidak ditangani, hal ini dapat menghambat tercapainya target perekonomian negara.
Sejak krisis keuangan 2008, Rusia bahkan tidak pernah tumbuh di atas 5%, pertumbuhan 4,7% tahun lalu merupakan yang tertinggi pascakrisis. The Guardian bahkan menyebut dalam beberapa hal, ekonomi Rusia sebenarnya belum benar-benar bergerak sejak keruntuhan Uni Soviet. Tiga tahun sebelum pandemi, ekominya hanya tumbuh rata-rata 2%.
Hubungan yang terbatas dengan negara-negara Barat yang buruk bahkan sebelum melancarkan perang dengan Ukraina memberikan tantangan bagi Rusia untuk mendorong ekonomi.
Rusia merupakan negara terluas di dunia, tetapi output ekonominya bahkan lebih kecil dari Italia. Penghasilan per kapitanya juga hanya seperempat dari Inggris. Namun, kondisi ini tak berarti Rusia bisa dengan cepat 'remuk' setelah dijatuhi sejumlah sanksi dari sejumlah raksasa ekonomi dunia yang mendukung Ukraina.
The Guardian merangkum tiga alasan ekonomi Rusia mungkin bisa bertahan lebih lama dari tekanan ekonomi tersebut:
- Presiden Rusia Vladimir Putin telah berusaha untuk melindungi Rusia secara aktif dari ketergantungan pada negara barat sejak invasi Krimea pada tahun 2014. Impor daging, buah, sayuran, dan susu dari Barat dilarang ketika sanksi dijatuhkan.
- Swasembada telah disertai dengan upaya diversifikasi, dengan poros kebijakan yang kini mendekat ke Cina. Kesepakatan dengan Beijing membuka jalan bagi pembangunan Power of Siberia, yakni kerja sama pipa gas yang menghubungkan kedua negara yang dibuka pada tahun 2019. Kini kedua negara bersiap dengan kesepakatan baru Power of Siberia 2.
- Rusia telah menggunakan uang yang diterima dari hasil ekspor minyak dan gasnya untuk membangun pertahanan finansial yang substansial. Moskow memiliki cadangan mata uang asing sekitar US$ 500 miliar. Selain itu, Rusia juga memiliki utang publik yang rendah. Data Statista, utang pemerintah Rusia sebesar 19,28% terhadap PDB pada tahun 2020. Ini cenderung lebih rendah dibandingkan negara emerging lainnya yang kenaikan utangnya cukup tinggi akibat pandemi.
"Kekuatan finansial itu mungkin menumpulkan salah satu senjata yang ingin digunakan barat dalam menanggapi krisis di Ukraina yakni melarang Rusia menerbitkan atau memperdagangkan obligasi pemerintah di London dan New York," kata The Guardian.
Sebaliknya, Kremlin bisa mengambil langkah balasan atas sanksi dari negara-negara barat. Rusia menyediakan 40% minyak dan batu bara untuk Uni Eropa dan 20% gas. Selain itu, Rusia juga pengekspor pupuk dan palladium terbesar di dunia, komponen penting untuk industri otomotif.