Sri Mulyani: Daya Saing RI Masih Rendah Meski Banyak Bangun Tol
Peringkat daya saing Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan lima negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN-5 meski sudah 'jor-joran' dalam pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol. Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan Indonesia.
"Akselerasi pembangunan infrastruktur adalah pilar yang sangat penting dalam memajukan ekonomi Indonesia. Bahkan dengan pembangunan infrastruktur jalan tol yang begitu banyak, peringkat competitiveness Indonesia relatif masih lebih rendah dibandingkan ASEAN-5," kata Sri Mulyani dalam acara Penandatanganan Perjanjian Induk antara INA dengan PT Hutama Karya, Kamis (14/4).
Dalam pemeringkatan daya saing yang dikeluarkan Institute for Management Development (IMD), Indonesia berada di peringkat 37 dari 64 negara pada tahun lalu. Indonesia naik tiga peringkat setelah jatuh ke peringkat 40 pada tahun pertama pandemi atau tahun 2020. Meski begitu, memang peringkat Indonesia masih di bawah capain 2019 di peringkat 32.
Peringkat Indonesia sebetulnya bukan yang terburuk dibandingkan empat negara ASEAN-5 lainnya, karena peringkat Filipina bahkan makin terperosok ke peringkat 52 pada tahun lalu dari posisi lima tahun sebelumnya yang berada di rangking 41. Namun, peringkat Indonesia ini terbilang jauh di bawah Singapura di rangking 5, Malaysia peringkat 25 dan Thailand 28.
Sri Mulyani mengatakan, salah satu tantangan yang dihadapi untuk pembangunan infrastruktur Indonesia, yaitu kebutuhan terhadap pendanaan yang cukup besar. Ia mengatakan, dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah menghitung kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur Indonesia mencapai Rp 6.445 triliun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya dapat memberikan Rp 2.385 triliun atau 37% dari kebutuhan tersebut.
Kontribusi APBN tersebut dihitung saat kondisi ekonomi sedang normal. Dalam kondisi tekanan pandemi seperti sekarang, ia mengatakan banyak alokasi dalam APBN yang harus direlokasi untuk belanja prioritas khususnya kesehatan, bantuan sosial dna pemulihan ekonomi.
"Oleh karena itu, jelas untuk meneruskan pembangunan tidak mungkin terus menerus bergantung pada ketersediaan dana APBN, peran BUMN jelas penting dan peran swasta juga menentukan," ujarnya.
Dengan kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur yang besar, salah satu upaya yang dilakukan yakni melanjutkan reformasi fiskal untuk mengoptimalkan pendapatan negara dalam APBN. Di samping itu, pemerintah juga terus mendorong adanya pembiayaan kreatif.
"Salah satu pendekatan penting yaitu pendekatan optimalisasi aset khususnya untuk proyek infrastruktur existing atau yang sudah dibangun atau sudah beroperasi oleh BUMN, dengan menginjeksikan fresh money tetapi tidak melalui APBN langsung tetapi melalui Lembaga Pengelola Investasi (INA)," kata Sri Mulyani.
INA akan bekerjasama dengan berbagai investor dari berbagai sumber untuk menarik investasi ekuitas yang sifatnya jangka panjang. Ini akan memberikan tambahan stabilitas bagi pembangunan di Indonesia, pasalnya proyek-proyek tersebut tidak didanai melalui penerbitan utang maupun obligasi jangka pendek.
Sepanjang tahun lalu, INA sudah menandatangani MoU untuk membentuk platform investasi dalam bentuk konsorsium dengan komitmen investasi mencapai US$ 3,7 miliar. Nilai investasi tersebut untuk berbagai proyek, terutama jalan tol. MoU investasi tersebut dengan investor dari tiga negara, yakni Uni Emirat Arab, Belanda dan Kanada.