Mengapa Indonesia Tak Perlu Terlalu Khawatir dengan Resesi Ekonomi AS?
Ekonomi Amerika Serikat (AS) memasuki resesi teknis setelah perekonomianya mengalami kontraksi 0,9% pada kuartal kedua. Meski demikian, ekonom menyebut dampak perlambatan ekonomi terbesar dunia itu kemungkinan tidak signifikan mempengaruhi perekonomian domestik di Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut dampak resesi ekonomi AS terhadap ekonomi domestik akan terlihat melalui jalur perdagangan. Saat ekonomi melambat, permintaan atas ekspor RI ke negeri 'Paman Sam' bakal melambat.
Namun, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, menyebut Amerika bukanlah negara mitra dagang utama bagi Indonesia. Dengan begitu, dampaknya terhadap permintaan ekspor RI tidak signifikan.
"Kita lebih terpengaruh oleh ekonomi Cina dalam dua dekade terakhir dibandingkan AS, share perdagangan kita dengan AS juga makin kecil," kata David kepada Katadata.co.id, Jumat (29/7).
Total nilai ekspor Indonesia ke AS sepanjang Januari-Mei 2022 mencapai US$ 12,3 miliar. Ekspor RI ke AS naik secara nominal dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 9,39 miliar, maupun pada 2020 dengan US$ 7,21 miliar. Tetapi secara persentase terhadap total ekspor RI justru turun dari 11,2% pada 2020, menjadi 11,1% pada tahun lalu, kemudian 10,7% tahun ini.
Selain itu, ketergantungan atas investasi dari AS juga terus turun. Sejak awal milenium ini, aliran investasi ke dalam negeri mulai beralih ke negara di Asia, terutama dari Cina, Korea Selatan, Jepang, dan India.
Dari sisi pasar keuangan, dia juga menyebut dampaknya sangat minim, bahkan tidak ada. Sebaliknya, ada peluang tekanan di ekonomi AS itu bisa jadi berkah bagi sektor keuangan Indonesia. "Itu justru ditanggapi positif, pasar negara emerging market rebound hari ini. Artinya dengan resesi di AS, The Fed diharapkan tidak akan terlalu agresif ke depannya," kata dia.
Nilai tukar rupiah langsung menguat ke level Rp 14.866 per dolar AS pada pembukaan perdagangan hari ini. Penguatan rupiah masih berlanjut ke level Rp 14.835 pada pukul 14.35 WIB. Ini merupakan performa terbaik rupiah dalam sebulan terakhir, dan untuk pertama kalinya menjauhi level 14.900 sejak 28 Juni 2022 lalu.
Meski demikian, bukan berarti perlambatan ekonomi AS tidak memiliki dampak sama sekali terhadap Indonesia. Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet, menyebut melemahnya permintaan dari AS berpotensi mengoreksi kinerja neraca ekspor Indonesia pada level yang terbatas.
"Sepanjang semester kedua nanti, resesi di AS akan menjadi salah satu faktor menurunnya surplus neraca dagang yang kita alami selama semester pertama di tahun 2022 ini," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Jumat (29/7).
Bahkan efeknya bisa lebih luas. Perlambatan ekonomi AS berpotensi mempengaruhi ekonomi negara lain seperti Cina. Kondisi ini menambah tekanan bagi negeri tirai bambu, karena kinerja ekonominya pada kuartal kedua ini juga nyaris stagnan dengan pertumbuhan 0,4%.
Apabila ekonomi Cina melambat, tentu dampaknya akan lebih terasa ke Indonesia. Situasi ini yang menurut Yusuf merupakan dampak tidak langsung dari resesi di AS.
Senada dengan David, Yusuf juga melihat resesi di AS berpotensi mendinginkan inflasi. Saat permintaan menurun seiring resesi, harga komoditas bisa ikut turun dan tekanan inflasi juga sedikit mereda. Kondisi inflasi yang menurun menjadi kesempatan bagi bank sentral, terutama The Fed, agar tidak perlu agresif mengerek bunga acuannya.
"Dengan begitu Bank Indonesia bisa lebih leluasa dalam menentukan kebijakan suku bunga acuannya dan tidak terburu-buru menaikkannya secara agresif pada semester kedua nanti," kata Yusuf.
Meski secara teknis ekonomi AS telah resesi karena dalam dua kuartal terakhir mengalami kontraksi, akan tetapi Menteri Keuangan AS Janet Yellen memiliki pendapat berbeda, dia menolak menyebut AS mengalami resesi karena sejumlah data lain menunjukkan masih adanya perbaikan.
The Fed juga mengungkap data lapangan kerja AS pada Juni tetap kuat dengan 372.000 pekerjaan diciptakan, sedangkan tingkat pengangguran bertahan di kisaran 3,6%. AS berhasil mencatatkan kenaikan lapangan kerja selama empat bulan berturut-turun dengan lebih dari 350 ribu lapangan kerja baru.