Ramai Peringatan Suramnya Prospek Ekonomi Dunia, Resesi di Depan Mata

Abdul Azis Said
28 September 2022, 19:30
Ekonomi dunia, resesi, resesi ekonomi
ANTARA FOTO/REUTERS/David Ryder/ama/dj
Ilustrasi. Ekonomi dunia diperkirakan menghadapi resesi pada tahun depan.

Berbagai lembaga internasional, mulai dari Dana Moneter Internasional (IMF) hingga raksasa bank investasi dunia JPMorgan Chase memperingatkan ekonomi global sudah berada di tepi jurang resesi. Tekanan inflasi dari harga pangan dan energi telah mendorong siklus pengetatan moneter yang makin agresif di banyak negara.

Perang antara Rusia dan Ukraina telah memperburuk gangguan rantai pasok yang mendorong harga-harga barang terutama pangan dan energi makin tinggi. Inflasi telah memanas di berbagai negara, terutama di sebagian besar negara maju Amerika Serikat dan kawasan Eropa dan kini terlihat di banyak negara berkembang termasuk Indonesia.

Siklus inflasi tinggi mendorong bank sentral ikut bereaksi lewat kebijakan moneter yang ketat. Bank sentral AS, The Fed, misalnya, sudah menaikkan suku bunga sebanyak 300 bps dalam lima pertemuannya terakhir. Langkah ini ditempuh demi meredam inflasi yang sempat melonjak hingga level tertingginya dalam empat dekade, dan kini masih bertahan tinggi sekalipun mulai melandai.

Grafik:

Di Eropa juga sama. Inflasi tinggi mendorong bank sentral Eropa menaikkan suku bunga ke zona positif setelah bertahun-tahun dipertahankan negatif. Namun tantangan di benua biru itu bukan hanya suku bunga tinggi, tetapi juga masalah pasokan energi yang banyak bergantung ke Rusia. Eropa terancam krisis energi, dengan Jerman sebagai negara terbesar di kawasan kemungkinan memasuki pertumbuhan negatif tahun depan jika merujuk pada perkiraan dari Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Sementara di kawasan timur, ekonomi terbesar kedua di dunia, Cina juga mulai lesu. Perekonomiannya nyaris tumbuh stagnan pada kuartal kedua lalu. Penyebanya adalah kebijakan nol Covid-19 yang mengganggu mobilitas serta masalah di sektor properti yang tak berkesudahan.

Di tengah berbagai tantangan tersebut, banyak lembaga internasional mulai dari bank multilateral hingga raksasa bank investasi mulai memperingatkan ancaman resesi global. Berikut beberapa catatan terkait ramalan resesi dari berbagai lembaga tersebut.

  • IMF

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam outlook terbarunya akhir Juli lalu mengatakan prospek ekonomi gelap telah gelap signifikan sejak April. Dunia kini makin mendekati 'tepi' dari jurang resesi.

Pertumbuhan ekonomi dunia direvisi 0,4 poin menjadi 3,2% pada tahun ini. Prospeknya melambat pada tahun depan dengan perkirakan pertumbuhan 2,9%, dipangkas 0,7 poin dari perkiraan sebelumnya. "Dunia mungkin saat ini berada di tepi resesi, hanya dua tahun setelah (resesi) yang terakhir kali," kata Kepala Ekonom Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas dikutip dari Reuters Juli lalu.

Prospek negara berkembang lebih beragam, ekonomi Cina dan India dipangkas. Tetapi prospek ekonomi negara berkembang lain seperti Rusia, Brasil, Mexico hingga Afrika Selatan dinaikkan di rentang 0,4-2,5%. 

Seiring perlambatan tersebut, IMF menyebut probabilitas resesi meningkat pada kuartal mendatang. Kemungkinan negara-negara G7 masuk ke jurang resesi telah meningkat empat kali lipat, dengan probabilitas 15%. Di Jerman, kemungkinan resesi meningkat menjadi 25%. Dalam skenario alternatif IMF, yang mana berbagai kombinasi risiko terjadi, ekonomi AS dan Eropa bisa mendekati 0% atau stagnan pada tahun depan.

  • Bank Dunia

Bank Dunia membuat tiga skenario untuk prospek pertumbuhan ekonomi tahun depan. Pertama, skenario dasar, ekonomi dunia tidak jatuh ke jurang resesi tetapi perlambatan akan terlihat jelas. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan Bank Dunia mencapai 2,9% pada tahun ini akan turun menjadi 2,4% pada tahun depan. Inflasi tahun depan mendingin ke level 4,6%.

Skenario kedua, penurunan tajam, dimana pertumbuhan lebih rendah dari skenario sebelumnya, yakni 1,7% pada tahun depan dari tahun ini 2,8%. Ini dengan asumsi pengetatan moneter dilakukan lebih agresif demi memerangi inflasi. Dalam skenario ini, resesi juga masih bisa dihindari pada tahun depan. Output dari penurunan tajam ini, inflais bakal turun lebih dalam lagi.

Skenario ketiga, yakni resesi terjadi pada tahun depan.  Perekonomian global hanya tumbuh 0,5% pada tahun depan karena bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan yang lebih agresif dari dua skenario sebelumnya. Resesi tahun depan kemungkinan sama kuat dengan yang pernah terjadi pada 1982.

  • Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)

OECD memperkirakan perekonomian dunia tumbuh 2,2% tahun depan, melambat dari tahun ini 3%. Organisasi yang berbasis di Perancis itu tidak spesifik menyebut ekonomi global akan jatuh ke jurang resesi, namun dalam skenario terburuk ekonomi khususnya Zone Euro akan memasuki resesi tahun depan.

Zona Euro diramal tumbuh 0,3% tahun depan dari tahun ini diperkirakan di 3,1%. Ekonomi terbesar di kawasan, Jerman akan terkontraksi 0,7%, dengan prospek Perancis dan Italia tetap tumbuh positif tetapi nyaris stagnan.

Namun dalam skenario terburuk, ekonomi Eropa bisa jatuh ke jurang resesi. INi dengan asumsi harga gas dan minyak masih meningkat pada tahun depan di tengah permintaan yang juga meningkat. Di sisi lain, kebijakan moneter bereaksi terhadap kenaikan inflasi.

"Hal ini akan mendorong banyak negara ke dalam resesi setahun penuh pada tahun 2023 dan pertumbuhan juga akan melemah pada tahun 2024," dikutip dari laporan resmi OECD belum lama ini.

  • JP Morgan

Permodelan yang dibuat JP Morgan pada akhir Juli lalu menunjukkan probabilitas resesi pada tahun depan kurang dari 50%. Namun koreksi yang lebih signifikan di pasar saham dan obligasi bisa meningkatkan probabilitas resesi antara 75%-80%. Namun, Kepala Real Estate Komersial JPMorgan Chase,  Alfred Brooks dalam keteranganya pekan lalu menyebut probabilitasnya meningkat menjadi di atas 50%.

Kepala riset, Perbankan Komersial JPMorgan Chase, Ginger Chambless, memperkirakan resesi tahun depan kemungkinan jauh lebih pendek dan lebih dangkal dibandingkan saat krisis hebat pada 2008-2009. Alasannya, kontribusi sektor konsumen dan bisnis termasuk perbankan, lebih kecil terhadap guncangan menjelang resesi.

"Pasar tenaga kerja telah begitu ketat selama setahun terakhir, dan bisnis mengalami kesulitan dan mempertahankan pekerja, kecil kemungkinan perusahaan akan memangkas tenaga kerja mereka," kata Chambles.

  • Nomura

Perusahaan keuangan asal Jepang itu pada Juli lalu memperkirakan beberapa ekonomi utama, termasuk AS, Zona Euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Kanada akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan. Penyebabnya, karena pengetatan moneter dan fiskal, serta biaya hidup yang makin mahal karena kenaikan harga komoditas dan pengetatan kondisi keuangan. Sebulan sebelumnya, Nomura bahkan meramalkan AS akan jatuh ke resesi ringan pada kuartal terakhir tahun ini. 

Resesi di Eropa berisiko lebih dalam dibandingkan AS jika terjadi gangguan pada suplai gas dari Rusia. Di Jepang, resesi diperkirakan ringan karena adanya beberapa gangguan sementara konsumsi kembali naik. Korea Selatan, Australia dan Kanada mengalami booming perumahan dan berisiko mengalami resesi yang lebih dalam dari perkiraan jika kenaikan suku bunga memicu kegagalan pada sektor properti tersebut dan deleveraging.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...