Dunia Dihantui Ancaman Stagflasi, Ini Penjelasan Lengkap BI
Bank Indonesia melihat perekonomian dunia saat ini bukan hanya dibayangi risiko resesi tetapi juga stagflasi. Hal ini tidak lepas dari langkah agresif banyak bank sentral menaikkan suku bunga, meski penyebab inflasi bukan dari sisi demand atau permintaan.
Gubernur BI Perry Warjiyo melihat risiko perlambatan ekonomi dunia yang mengarah kepada resesi membayangi sejumlah negara. Fenomena ini tidak lepas dari langkah agresif kenaikan suku bunga di banyak bank sentral, termasuk diantaranya bank sentral AS (The Fed) dan Eropa (ECB). Di sisi lain, inflasi juga meningkat di banyak negara.
"Inflasi ini tentu saja tidak hanya karena kenaikan permintaan, tetapi juga gangguan pasokan, karena itu belum tentu bisa segera diatasi dengan kenaikan suku bunga dan ini yang sering menimbulkan risiko global berupa stagflasi," kata Perry dalam webinar Pusat Penelitian dan Badan Keahlian DPR, Rabu (19/10).
Stagflasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi perekonomian yang stagnan di tengah tekanan inflasi yang tinggi. Situasi ini tergambar jelas dalam kondisi perekonomian dunia saat ini.
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas prospek pertumbuhan ekonomi dunia tahun depan 0,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Perkiraan inflasi tahun depan juga diramal bakal lebih tinggi 0,8 poin dari perkiraan Juli. Revisi ke atas terhadap prospek inflasi ini terutama di negara-negara maju.
Bank Indonesia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3% pada tahun ini menjadi 2,6% pada tahun depan. Perlambatan akan terlihat terutama di dua kawasan utama, yakni Amerika Serikat dan Eropa. Sementara Cina diperkirakan tumbuh lebih kuat pada tahun depan dibandingkan tahun ini tetapi masih tumbuh di bawah 5%.
"Sehingga gejolak atau tantangan ekonomi global itu menimbulkan risiko perlambatan ekonomi bahkan sejumlah negara berisiko resesi dan stagnasi," kata Perry.
Perry mengatakan, ekonomi dunia kini menghadapi fragmentasi karena berbagai gejolak. Perang di Ukraina mengganggu proses perekonomian dunia yang sebetulnya belum sepenuhnya pulih dari pandemi. Ketegangan geopolitik memperburuk kenaikan harga pangan dan energi. Hasilnya, inflasi meningkat dimana-mana.
Ia mengatakan, inflasi yang tinggi membuat bank sentral meresponsnya dengan pengetatan moneter berupa kenaikan suku bunga. Banyak bank sentral bahkan menaikan suku bunga agresif. Bank sentral AS, The Fed misalnya, sudah menaikkan suku bunganya 300 bps dalam lima pertemuan terakhir ke level 3-3,25%.
"Kami perkirakan suku bunga The Fed masih akan naik, puncaknya bisa 4,5% di akhir tahun atau bahkan ada juga prediksi suku bunganya akan lebih tinggi, begitu juga di Eropa terus menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi," kata dia.