Ekonomi RI Lebih Dekat ke Cina Daripada Amerika Cs, Untung atau Rugi?
Laporan Bank Dunia menunjukkan perlambatan ekonomi di Cina akan memberi dampak lebih signifikan dibandingkan perlambatan di negara-negara G7 kecuali Jepang. Ekonom melihat ketergantungan yang lebih besar ke Cina ini menimbulkan untung rugi bagi ekonomi domestik.
Bank Dunia membuat simulasi dampak perlambatan ekonomi negara anggota G7 (tidak termasuk Jepang), dan Cina masing-masing 1% terhadap beberapa negara ASEAN. Hasilnya, 1% penurunan ekonomi Cina akan berdampak penurunan 0,56% pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penurunan dengan besaran yang sama di negara G7 hanya menurunkan 0,35 poin prospek pertumbuhan indonesia.
Hal ini berbeda jika dibandingkan Filipina, Thailand, dan Malaysia. Ketiga negara tersebut menghadapi dampak penurunan yang lebih besar jika perlambatan terjadi di G7 ketimbang di Cina. Lengkapnya bisa dilihat pada diagram di bawah ini.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut, ada sejumlah faktor yang membuat hubungan ekonomi Indonesia lebih erat ke Cina dibandingkan ke Amerika Cs.
Pertama, latar belakang Indonesia dan Cina sama-sama sebagai negara berkembang. Cina disebut menawarkan berbagai produk perdagangan yang harganya murah, sehingga cocok dengan kebutuhan di dalam negeri. Impor barang dari Cina lebih murah dibandingkan dari negara-negara maju G7 sekalipun dari sisi kualitas kurang.
Kedua, Cina telah menjelma sebagai pusat rantai pasok global. Produk barang setengah jadi yang diproduksi Indonesia lebih mudah diekspor ke Cina ketimbang Eropa. Pengiriman ke Cina relatif tidak membutuhkan regulasi dan persyaratan yang ketat ketimbang ke Eropa ataupun Amerika Utara.
Ketiga, Cina bukan hanya masuk lewat perdagangan tetapi juga investasi. Ekonomi terbesar kedua dunia ini berani menawarkan pembiayaan untuk proyek-proyek yang sedang dibutuhkan di dalam negeri.
Berbeda dengan negara maju seperti AS, Tauhid melihat Cina lebih bersedia untuk berinvestasi sekaligus transfer teknologi meski sering kali diikuti oleh beberapa persyaratan seperti mayoritas pekerja proyek berasal dari negara tersebut.
Menurut Tauhid, hubungan ekonomi yang erat dengan Cina layaknya dua sisi mata uang. Di satu sisi, hubungan kedua negara bisa memberi keuntungan, tetapi di sisi lain juga dapat menimbulkan kerugian.
Ia menjelaskan, hubungan yang erat dengan Cina membuat ekonomi Indonesia ikut terdampak positif saat negara tersebut tumbuh kencang. Penguatan ekonomi Cina mendorong permintaan barang ekspor ikut meningkat, termasuk dari Indonesia.
"Selain itu, Cina adalah ekonomi besar. Berhubungan dengan satu negara lebih efisien dibandingkan dengan banyak negara," kata Tauhid saat dihubungi lewat sambungan telepon, Senin (24/10).
Sebaliknya, menurut dia, ketergantungan yang besar ke Cina bisa menimbulkan 'malapetaka'. Indonesia ikut merasakan imbasnya jika ekonomi Cina lesu, seperti yang dilaporkan dalam simulasi Bank Dunia sebelumnya. Perlambatan ekonomi Cina akan membuat ekonomi Indonesia juga melambat.
Situasi ini, menurut dia, kini terlihat saat ini, di mana prospek ekonomi Cina telah melambat baik 2022 maupun tahun depan seiring kebijakan lockdown zero Covid-19 di banyak kota besar di CIna.
Ekonom Segara Institut Piter Abdullah menyebut ketergantungan besar ke Cina merupakan hal yang normal. Hal ini mempertimbangkan bahwa ukuran ekonomi Cina memang besar. Ia melihat ada untung rugi dari kondisi ini.
"Ekonomi Cina tidak pernah negatif, selalu tumbuh positif, bahkan tahun 2023 saat perekonomian global diperkirakan resesi, Cina masih akan tumbuh positif. Artinya, Cina masih akan menjadi pasar bagi banyak negara termasuk Indonesia," kata Piter.
Namun situasi ini juga dilematis, Indonesia bisa terimbas negatif sata Cina menghadapi perlambatan ekonomi.