Apakah Revisi Aturan DHE Cukup Menjaga Likuiditas Dolar di RI?
Pemerintah berencana merevisi aturan Devisa Hasil Ekspor atau DHE yang wajib diparkirkan di dalam negeri, antara lain dengan memperluas sektor usaha yang wajib memenuhi ketentuan tersebut. Ekonom melihat pemerintah juga perlu menyiapkan instrumen lain agar eksportir semakin menarik memarkirkan dananya di dalam negeri.
"Presiden meminta agar PP Nomor 1 tahun 2019 tentang DHE itu diperbaiki, saat ini hanya pertambahan, perkebunan, keutamaan dan perikanan yang diwajibkan masuk ke dalam negeri, ini akan masuk beberapa sektor termasuk manufaktur," kata Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Istana Presiden, Rabu (11/1).
Airlangga berharap perluasan sektor usaha yang wajib membawa pulang DHE daat membantu meningkatkan cadangan devisa Indonesia di tengah tren surplus perdagangan yang juga masih terus berlanjut. Meski demikian, revisi aturan DHE kemungkinan bukan hanya dengan memperluas sektor tetapi juga akan mengatur ulang soal jumlah DHE yang wajib dibawa pulang.
Pemerintah, menurut Airlangga, juga akan mengatur batas waktu atau berapa lama devisa wajib diparkir di dalam negeri. Airlangga membandingkan dengan beberapa negara lain yang sudah mengatur terkait batas waktu penyimpanan DHE, berbeda dari Indonesia yang sampai saat ini masih menganut rezim devisa bebas.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyambut positif rencana perubahan aturan tersebut. Menurutnya, kebijakan tersebut akan membantu ketercukupan likuiditas valas di dalam negeri dan mengatasi masalah inflasi tinggi dan volatilitas pada nilai tukar rupiah.
"Namun ini harus diembangkan dengan sintrumen yang makin lengkap di dalam negeri terutama hedging, dan juga imbal hasilnya harus berikan yang menarik sehingga tidak ada keinginan untuk menyimpan di luar negeri, paling tidak imbal hasilnya sama lah dengan negara lain," kata David sata dihubungi Rabu (11/1).
David menyarankan BI untuk menawarkan term imbal hasil deposito yang menarik sehingga perbankan yang kelebihan likuiditas alas akan menaruhnya ke bank sentral. BI dalam pertemuan bulan lalu memperkenalkan instrumen operasi moneter (OM) valas yang baru dengan menawarkan bunga yang kompetitif berdasarkan mekanisme pasar. Selain itu, David juga melihat peluang pendalaman instrumen swap valas dengan menyediakan tenor yang lebih panjang.
Selain itu, menurut dia, pemerintah juga perlu menyiapkan roadmap yang jelas terkait optimalisasi likuiditas valas yang masuk. "Jangan sampai dananya banyak masuk tapi kita belum ada roadmap bagaimana mendayagunakan, sektor penting mana yang mau didukung," ujarnya.
Salah satu aspek yang direvisi dalam PP tersebu yakni memperluas sektor usaha yang wajib membawa pulang devisanya. Namun ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB Universitas Indonesia, Teuku Rieky menyebut revisi aturan tidak akan banyak mempengaruhi kondisi bisnis sektoral. Pasalnya, kewajiban membawa pulang devisa tidak akan berpengaruh terhadap kenaikan biaya produksi atau beban lainnya.
"Saya tidak melihat ada dampak terlalu signifikan, tapi memang kalau sebelumnya ada kebijakan ini tentu bagi dunia usaha lebih besar return-nya menaruh mata uangnya di negara lain, tapi untuk keseluruhan bisnisnya saya tidak melihat ini ada perubahan," ujar Riefky.
Meski demikian, Riefky menilai kebijakan revisi aturan tersebut hanya sebagai upaya yang dampaknya jangka pendek. Senada dengan David, persoalan devisa yang 'malas' pulang ke dalam negeri sebetulnya karena daya tarik imbal hasil menyimpan dana valas id dalam negeri tidak semenarik negara lain. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu mempersiapkan suku bunga untuk menyimpan devisa di dalam negeri yang lebih kompetitif.