5 Isu Panas saat Mahfud di DPR, Upaya Menkeu Dijatuhkan hingga Markus

Abdul Azis Said
30 Maret 2023, 13:23
Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU Mahfud MD (kedua kiri) bersama Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (kiri) mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Sena
ANTARA FOTO/Prabanndaru Wahyuaji/hp.
Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU Mahfud MD (kedua kiri) bersama Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (kiri) mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2023).

Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada Rabu (29/3) menjadi sorotan. Pertemuan membahas transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan selama delapan jam itu sempat berlangsung tegang dan saling lempar komentar panas.

Mahfud mengatakan meski sempat diselingi ketegangan, pertemuan terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), berakhir dengan baik. "Semula agak tegang. Pertanyaannya berputar-putar, saling protes karena cara bicara. Pada akhirnya tadi kami clear," ujar Mahfud dalam konferensi pers usai RDPU di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3) malam.

Ia menyampaikan kehadirannya dalam RDPU, yang dimulai dari pukul 15.00 WIB hingga 23.00 WIB, adalah untuk menjelaskan data yang dimilikinya untuk memperjelas kasus dugaan TPPU di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Tidak ada masalah karena yang ditanyakan (saat rapat) sama, saya hanya menjelaskan saja. Datanya hanya ini dan Kemenkeu hanya mengambil satu biji dari sebongkah anggur, itu yang dijelaskan," ujarnya.

Dalam pertemuan tersebut, Mahfud sempat menduga anak buah Menteri Keuangan Sri Mulyani menutupi akses informasi terkait transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun.

"Itu tafsiran saya karena ternyata ketika surat yang tahun 2020 yang memperingatkan agar (surat) yang 2017 itu dilaksanakan. Dibilang tidak ada, ditunjukkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini suratnya ada," katanya.

Selain membahas mengenai transaksi mencurigakan, Mahfud juga menyinggung mengenai makelar kasus atau markus. Sebaliknya anggota DPR mengingatkan Mahfud yang berpotensi di-reshuffle dari kabinet. Berikut lima isu yang dibahas dalam rapat tersebut:

1. Mahfud sebut Penjelasan Sri Mulyani di Komisi XI Jauh dari Fakta

Sri Mulyani bersama sejumlah anak buahnya sudah menghadap Komisi XI untuk menjelaskan perkara transaksi Rp 349 triliun itu pada awal pekan ini. Dalam pertemuan itu, Sri Mulyani menyebut hanya Rp 3,3 triliun dari transaksi tersebut yang melibatkan pegawainya.

Klaim itu kemudian disanggah oleh Mahfud. Ia menyebut jumlah keterlibatan pegawai Kemenkeu jauh lebih besar yakni Rp 35,5 triliun. Jumlah pegawai yang terlibat 461 orang dengan rincian menyeret 11 pegawai kementerian atau lembaga lain dan 294 entitas non ASN.

Angka itu belum termasuk transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu sebesar Rp 53,8 triliun. Pegawai yang diduga terlibat sebanyak 30 orang. Dengan demikian Mahfud menyebut ada 491 pegawai Kemenkeu yang melakukan transaksi mencurigakan maupun masih diduga terlibat.

"Kesimpulan saya bu menkeu tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini, sehingga keterangannya terakhir di Komisi XI itu jauh dari fakta, tapi dia bukan menipu," kata Mahfud.

Meski demikian, Mahfud menegaskan bahwa tidak ada perbedaan data yang dipegangnya dengan Kemenkeu. Hanya saja terdapat beda interpretasi.

PPATK yang hadir dalam rapat itu menjelaskan duduk perkara beda klaim transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu. Angka yang dipaparkan Mahfud lebih besar dari yang dijabarkan Kementerian Keuangan dikarenakan adanya penggabungan antara transaksi pegawai dengan perusahaan cangkang yang terafiliasi dengan bersangkutan. Sementara, PPATK menyebut angka dari Kemenkeu lebih kecil karena antara transaksi perusahaan cangkang dengan transaksi pegawai telah dipisahkan.

Namun, PPATK menghitung kumulatif transaksi gabungan perusahaan dan pegawai. Alasannya, ada dugaan beberapa pegawai memiliki afiliasi dengan sejumlah perusahaan yang didaftarkan atas nama istri, anak hingga tukang kebun yang bersangkutan. Nama-nama tersebut berperan sebagai yang disebutnya proxy crime alias perantara pencucian uang.

2. Mahfud Duga Anak Buah Sri Mulyani Tutupi Akses Data

Dalam rapat itu, Mahfud menyinggung bahwa Sri Mulyani sepertinya tidak tahu menahu soal data dari PPATK. Terutama terkait laporan PPATK soal dugaan pencucian uang terkait impor emas yang melibatkan 15 entitas dengan nilai transaksi yang ditemukan Rp 189 triliun.

Mafud bercerita, Sri Mulyani sempat bingung saat pertama kali disodorkan data itu pada pertemuan bersama PPATK belum lama ini. Padahal laporan terkait 15 perusahaan itu sudah dua kali disetorkan, pada 2017 dan 2020. Sayangnya, data itu tak kunjung sampai di meja Sri Mulyani.

"Ada kekeliruan pemahaman bu Sri Mulyani dan penjelasan bu Sri Mulyani karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah," kata Mahfud

3. DPR Curiga Ada Upaya 'Jatuhkan' Sri Mulyani

Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman menyebut perbedaan data antara Sri Mulyani dan Mahfud MD membuat publik kebingungan. Termasuk juga memicu berbagai spekulasi, termasuk dugaan motif politik untuk menendang Sri Mulyani dari kabinet.

"Jangan-jangan memang ada motif politik ingin menyingkirkan Sri Mulyani. Kenapa? karena mohon maaf saja, sebab ada isu kan Sri Mulyani menolak rencana membeli minyak Rusia, banyak pejabat yang tidak suka, banyak pembantu (menteri) juga yang nggak suka," kata Benny.

Spekulasi lain, bisa jadi data soal transaksi mencurigakan Rp 189 triliun soal importasi emas dimunculkan lagi karena keinginan pihak tertentu untuk menjegal Sri Mulyani tak jadi menteri lagi di kabinet yang baru nanti.

Benny mengusulkan Sri Mulyani bisa dihadirkan dalam rapat berikutnya untuk bisa menjelaskan kepada publik secara bersamaan tiga pihak langsung, Mahfud MD, PPATK dan Kementerian Keuangan.

4. DPR Singgung Mahfud Potensi Direshuffle

Ketegangan di awal rapat membuat anggota Komisi III yang juga mantan stafsus komunikasi Jokowi Johan Budi mengingatkan baik Mahfud maupun anggota dewan tak menebar ancaman. Ia mengingatkan bahwa masa tugas anggota dewan hanya lima tahun, demikian juga Mahfud bisa saja tak lama.

"Menko Polhukam juga begitu Pak Mahfud, belum tentu lima tahun loh, kalau di-reshuffle? Apalagi ada ramai-ramai begini (soal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun)," kata dia.

Ia kemudian menyinggung jejak karier Johan Budi yang sempat menjadi orang terdekat Jokowi sebagai Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi. Dari pengalamannya itu, ia tahu bahwa Jokowi tak suka jika ada menteri yang berdebat di luar, risikonya bisa saja langsung didepak oleh Jokowi dari kabinet.

"Tentu saya berdoa dan saya mengagumi Pak Mahfud, Pak Mahfud tidak di-reshuffle gara-gara ini. Karena saya mengenal sekali Pak Mahfud ini lurus sangat berani," kata dia.

5. Anggota DPR Disebut Sarang Makelar Kasus

Berjam-jam rapat tak menjamin pembahasan tidak melebar. Ruang rapat seketika ramai dihujani interupsi setelah Mahfud tanpa terduga menyinggung terkait makelar kasus alias markus.

"Sering di DPR ini aneh kadangkala marah-marah itu tidak tahunya markus dia. Marah kepada Kejaksaan Agung nantinya datang ke Kantor Kejaksaan Agung titip kasus," ujar Mahfud.

Beberapa anggota dewan kemudian menginterupsi dan meminta Mahfud membuka data terkait berapa banyak anggota dewan yang terlibat sebagai markus.

Namun Mahfud mengatakan hal itu disampaikannya dalam konteks kejadian 2005 lalu saat kejaksaan Agung mengungkap ada markus saat rapat gabungan dengan Komisi II dan III. Namun Mahfud enggan menanggapi apakah markus tersebut masih ditemukan pada periode sekarang.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...