Cina Ditekan Negara Barat untuk Restrukturisasi Utang Negara Miskin
Cina menghadapi tekanan negara Barat untuk merestrukturisasi utang kepada negara-negara miskin. Cina diperkirakan meminjamkan lebih dari US$ 500 miliar untuk negara-negara krisis dan negara-negara berkembang. Banyak negara-negara debitur yang telah atau menghadapi risiko gagal bayar.
Amerika Serikat dan negara Barat lainnya menekan Cina untuk mengizinkan sejumlah negara debitur merestrukturisasi dan mengurangi jumlah utangnya. Namun, Cina bersikeras bahwa kreditur lainnya, termasuk institusi multilateral, ikut menanggung kerugian dari restrukturisasi tersebut.
“Tiongkok tengah menghadapi tekanan yang meningkat dari segala arah, termasuk dari negara berkembang lainnya, untuk memainkan peran yang lebih konstruktif dalam negosiasi restrukturisasi utang,” kata Eswar Prasad, eks kepala divisi Cina di Dana Moneter Internasional (IMF), seperti dikutip dari New York Times, Kamis (20/4).
Berdasarkan data dari lembaga riset Inggris Chatham House, New York Times menulis bahwa utang luar negeri publik dan privat Afrika telah melonjak lima kali lipat ke US$ 700 miliar dalam dua dekade terakhir. Kira-kira 12% dari utang tersebut berasal dari kreditur Cina.
Desakan untuk restrukturisasi terlihat paling menonjol di negara-negara yang sangat membutuhkannya, seperti Zambia. Utang luar negeri Zambia hingga US$ 20 miliar, kira-kira sepertiganya berasal dari kreditur Cina.
Pada 2020, Zambia telah gagal bayar. Negara di selatan Afrika ini tengah berusaha untuk merestrukturisasi utang hingga US$ 8,4 miliar.
“Zambia membutuhkan keringanan utang secepatnya,” kata Menteri Keuangan Zambia kepada New York Times. “Penundaan restrukturisasi utang menekan uang kami, mengeluarkan Zambia dari pasar modal, dan membuat sulit untuk menarik investasi asing langsung.”
Berdasarkan data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Financial Times (FT) melaporkan sebagian besar dari 117 negara yang terlibat dalam program pendanaan Tiongkok Belt & Road Initiative (BRI) memiliki risiko ekonomi tinggi. Penilaian risiko ini menggunakan skala antara 0 dan 7. Semakin tinggi skornya, risikonya semakin besar.
Negara dengan risiko sangat tinggi meliputi Pakistan, Sri Lanka, Suriname, dan Zambia. Sementara itu, Singapura merupakan satu-satunya negara dengan risiko paling rendah. Dengan skor 3, Indonesia masih relatif aman.
Menurut laporan FT, Gubernur Bank Rakyat Tiongkok Yi Gang mengatakan kepada menteri-menteri keuangan G20 pada 13 April 2023, negaranya bersedia untuk bekerjasama menyelesaikan negosiasi restrukturisasi utang. Negosiasi ini menggunakan Kerangka Kerja Bersama (Common Framework) dari G20.
“Cina bersedia untuk bekerja dengan semua pihak untuk mengimplementasikan Kerangka Kerja Bersama untuk penyelesaian utang,” kata Yi.
New York Times juga melaporkan, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin mengatakan bahwa Tiongkok telah mengajukan proposal. Salah satu isinya adalah mendorong IMF untuk mempublikasikan penilaian keberlanjutan utang negara-negara lebih cepat.
Selain itu, Tiongkok juga telah meminta kreditur lain untuk merinci bagaimana mereka akan melakukan restrukturisasi dengan “ketentuan yang sebanding.”