BI Buka-bukaan Kesiapan Redenominasi Rupiah Ubah Rp 1.000 jadi Rp 1
Bank Indonesia menyebut sudah menyiapkan sejak lama rencana redenominasi atau penyederhanaan digit mata uang misalnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Namun implementasinya masih mempertimbangan tiga faktor terutama menyangkut masih tingginya tekanan eksternal.
"Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu, masalah desain dan tahapan-tahapannya, itu sudah kami siapkan dari dulu secara operasional dan bagaimana tahapan-tahapannya," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/6).
Perry menjelaskan terdapat tiga faktor yang dipertimbangkan bank sentral dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Pertama, kondisi makro ekonomi yang bagus. Kedua, kondisi moneter dan stabilitas sistem keuangan stabil. Ketiga, kondisi sosial dan politik yang kondusif dan mendukung.
BI menilai perekonomian domestik saat ini sebetulnya sudah bagus. Meski demikian, momentum yang tepat juga perlu mempertimbangkan kondisi terkini masih adanya efek rambatan dari eksternal terutama pelemahan ekonomi global.
"Demikian juga stabilitas sistem keuangan kita kan kondisinya stabil, tetapi ketidakpastian global masih ada, sabar," kata Perry.
Ia enggan menanggapi dari sisi kesiapan sosial dan politik. "Sosial dan politiknya tentu saja pemerintah yang lebih tahu," kata Perry.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat atau LPEM FEB Universitas Indonesia, Teuku Rifky, sebelumnya mengatakan rencana itu akan sulit dilakukan dalam waktu dekat karena menjelang tahun politik Pemilu 2024.
"Biasanya regulator akan memprioritaskan kebijakan yang populis dalam situasi tahun politik," ujarnya di Jakarta, Jumat (16/6).
Dia mengatakan, saat ini belum ada urgensi untuk mengeksekusi rencana redenominasi tersebut. Pasalnya rupiah secara umum dalam kondisi yang masih baik-baik saja.
Sebaliknya, dia menilai redenominasi justru akan memakan biaya yang cukup besar. Redenominasi memang akan menyederhanakan pencatatan akuntansi. Namun demikian, akan ada 'biaya' yang timbul karena aktivitas seperti perdagangan internasional perlu menyesuaikan dengan denominasi yang baru.
"Saya rasa memang tidak ada keuntungan yang signifikan kalau redenominasi ini, sementara kebutuhan atau cost untuk eksekusi itu justru cukup besar karena perlu persiapan panjang padahal belum ada urgensi yang betul-betul mendesak," kata Riefky.