Sri Mulyani: APBN Surplus Rp 67 Triliun sampai September 2023
Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan kinerja anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih mencatatkan surplus Rp 67,7 triliun sampai September 2023. Nilai tersebut setara 0,32 terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kendati demikian, nilai surplus APBN sampai akhir bulan lalu lebih rendah dibanding surplus pada akhir Agustus 2023 yang tercatat Rp 147,2 triliun.
"Surplus APBN sampai September ini dengan keseimbangan primer Rp 389,7 triliun," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu (25/10).
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, pendapatan negara yang berhasil terkumpul sampai akhir September 2023 sebesar Rp 2.035,6 triliun atau 82,6% dari target dalam APBN 2023. Jumlah ini tumbuh 3,1% dari nilai pendapatan pada periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, belanja negara tercatat Rp 1.967,9 triliun atau 64,3% dari total pagu anggaran dalam APBN. Nilai ini naik 2,8% dibanding belanja pada periode yang sama tahun lalu.
"APBN sampai September posisinya masih baik dan berjalan sesuai rencana, tapi kita tidak boleh terlena, kewaspadaan perlu tetap ditingkatkan," kata Sri Mulyani.
Bukan tanpa alasan, Bendahara Negara itu meminta masyarakat untuk waspada karena seluruh negara di dunia menghadapi berbagai tantangan dari lingkungan perekonomian global.
"Indikatornya, risiko dan ketidakpastian global meningkat. Ini memberikan dampak rembesan ke dalam negeri yang mempengaruhi nilai tukar, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi, karena volatilitas pasar keuangan berdampak ke sektor riil," papar Sri Mulyani.
Dia menjelaskan, sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Cina dan kawasan Eropa mengalami tekanan tinggi.
Di AS misalnya, terjadi gejolak di pasar obligasi pemerintah bertenor 10 tahun pada September dan Oktober. Imbal hasil obligasi pemerintah AS melonjak sampai 5% untuk pertama kali sejak 2007. Padahal biasanya suku bunga AS tercatat rendah sejak krisis keuangan global 2008 lalu.
Tantangan juga berasal dari gejolak politik internal di AS terkait kepemimpinan kongres yang kosong. Menurut Sri Mulyani, kepemimpinan ini juga akan mempengaruhi kecepatan putusan legislasi dan pemerintahan di AS dalam merespons masalah-masalahnya.
Di Cina, pertumbuhan ekonomi melambat, tercermin dari 50 perusahaan bidang properti yang mengalami kesulitan keuangan bahkan ada yang gagal bayar. Padahal, Cina merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dan menjadi motor pertumbuhen ekspor dari banyak negara, termasuk Indonesia. Kondisi ini otomatis berpengaruhi pada pertumbuhan ekspor Indonesia.