Pemerintah Ungkap Penyebab Jebloknya Produksi Gula
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai penurunan produksi gula di dalam negeri adalah minimnya implementasi teknologi pertanian. Pemerintah menilai peningkatan produktivitas di tingkat kebun dan pabrik hanya dapat dilakukan dengan teknologi.
Deputi Agro, Farmasi, dan Pariwisata Kemenko Perekonomian Dida Gardera mengatakan, implementasi teknologi penting untuk mencapai target swasembada gula pada 2028. Target tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2023.
"Penggunaan teknologi ini sangat penting karena targetnya sudah ada, yakni 93 ton tebu per hektar," kata Dida dalam National Sugar Summit 2023, Rabu (13/12).
Dida mengatakan, Perpres No. 40 Tahun 2023 juga menargetkan penambahan area lahan tebu sebanyak 700.000 hektare menjadi 1,2 juta hektare. Ia berpendapat target tersebut sulit dicapai lantaran harus bersaing dengan sektor pertanian lainnya.
Ia mengatakan, beleid tersebut menargetkan peningkatan rendemen dari saat ini sebesar 7,3% menjadi 11,2%. Rendemen gula adalah presentasi perbandingan antara volume produksi gula dan volume tebu. Target terakhir adalah produksi bioetanol sejumlah 1,2 juta kiloliter. Bioetanol membutuhkan limbah hasil produksi gula sebagai bahan baku, yakni gula hitam atau molases.
"Ketika semua target sudah beranjak naik, hasilnya adalah peningkatan kesejahteraan petani tebu. Ini adalah hal utama dari target kami," ujarnya.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan kunci peningkatan produksi gula adalah pengolahan tebu dan gula yang baik. Arief menyampaikan strategi tersebut diterapkan di Brasil dan menghasilkan produktivitas tebu yang mencapai 135 ton per hektare dengan rendemen di atas 13%.
"Brasil dan Indonesia sama-sama terletak di garis khatulistiwa, namun Indonesia masih harus terus berbenah dalam produksi gula," kata Arief.
Arief mencatat, ketersediaan gula di dalam negeri cukup hingga akhir tahun ini. Namun, Arief mengakui harga gula di dalam negeri terus menanjak dan mencapai Rp 17.331 per kilogram per kemarin, Selasa (12/12).
Menurut dia, hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kenaikan biaya produksi di kebun maupun industri gula. Menurutnya, kenaikan biaya produksi tersebut telah ditanggulangi dengan penyesuaian harga acuan pemerintah terkait pembelian dan penjualan gula.
Bapanas telah menyesuaikan HAP gula dua kali pada tahun ini. Penyesuaian pertama terjadi pada Agustus 2023 dari Rp 12.500 per kg menjadi 14.500 per kg, sementara penyesuaian kedua pada November 2023 menjadi Rp 16.000 per kg.
Kedua, peningkatan harga gula di pasar global. Arief menjelaskan hal tersebut berpengaruh lantaran 30% kebutuhan gula konsumsi masih bergantung dari pasar impor.
Bapanas mendata kebutuhan gula konsumsi secara nasional adalah 3,2 juta ton per tahun. Namun pabrikan gula lokal hanya mampu memproduksi gula sejumlah 2,2 juta ton per tahun.
"Harga gula yang dinamis ini tentu menjadi perhatian kita semua, termasuk Badan Pangan Nasional," katanya.