Rupiah Melemah Dibayangi Data Tenaga Kerja AS, Investor Pantau Data Ekonomi Cina
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi (9/9) melemah 0,63% menjadi Rp15.475. Analis menilai investor akan memantau data ekonomi Cina, Amerika, dan Indonesia, sehingga bisa memengaruhi pergerakan rupiah.
Peneliti komoditas dan pasar uang Lukman Leong mengatakan, data non farm payrolls atau NFP Amerika Serikat 142 ribu atau lebih rendah dari proyeksi analis 160 ribu berpeluang membuat rupiah melemah hari ini.
“Rupiah diperkirakan melemah karena rebound dolar Amerika, setelah data tenaga kerja NFP menunjukkan penambahan pekerjaan di bawah perkiraan. Kenaikan penghasilan dan pengeluaran dikhawatirkan kembali memicu inflasi di Amerika,” kata Lukman kepada Katadata.co.id, Senin (9/9).
Selain itu, investor menantikan data inflasi Cina dan data survei kepercayaan konsumen Indonesia. Oleh karena itu, Lukman memperkirakan rupiah melemah hari ini ke kisaran Rp 15.400 - Rp 15.500 per dolar AS.
Sementara itu, peneliti pasar uang Ariston Tjendra masih optimistis rupiah melanjutkan penguatan pada hari ini. “Data NFP ini memperlihatkan bahwa kondisi ketenagakerjaan mulai melambat dan ini bisa mendukung kebijakan pemangkasan suku bunga acuan,” ujar Ariston.
Menurut dia, pelambatan NFP tidak menggambarkan situasi ketenagakerjaan Amerika yang memburuk. Hal itu karena data tingkat pengangguran dan upah rata-rata pekerja per jam masih lebih bagus dibandingkan proyeksi.
“Oleh karena itu, kemungkinan rupiah menguat terhadap dolar Amerika hari ini masih terbuka, karena ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan AS,” kata Ariston.
Ariston memperkirakan rupiah hari ini menguat ke level Rp 15.350 per dolar atau berpotensi ke level resistance Rp 15.450 per dolar AS.
Investor akan menantikan data indikator inflasi indeks harga konsumen AS yang akan dirilis pekan ini. Hal ini menjadi pertimbangan baru untuk kebijakan suku bunga acuan AS.
“Kalau tiba-tiba memperlihatkan angka yang meninggi, ini bisa menyurutkan ekspektasi pemangkasan dan mendorong penguatan dolar AS,” ujar Ariston.