Prabowo Prioritaskan Pembentukan Badan Penerimaan Negara, Bisa Kerek Pajak?
Presiden Prabowo Subianto memprioritaskan pembentukan Badan Penerimaan Negara alias BPN dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJMN) 2025-2029. RPJMN periode tersebut dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 yang berlaku sejak 10 Februari 2025.
Dalam Perpres tersebut disebutkan BPN dibentuk untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) ke 23%. Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai keberhasilan target tersebut tergantung beberapa hal.
“Efektivitas BPN dalam mengerek rasio penerimaan negara hingga 23% sangat bergantung pada sejumlah faktor yang tidak hanya menyangkut pembentukan lembaga baru, melainkan juga kualitas kepemimpinan,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Jumat (28/2).
Yusuf juga mengatakan, target tersebut bergantung kepada perumusan kebijakan yang matang dari pemerintah. Tak hanya itu, dukungan luas dari instansi pemerintah serta masyarakat juga dibutuhkan agar BPN bisa maksimal.
“Meskipun ide pembentukan BPN memiliki potensi untuk meningkatkan penerimaan pajak dan sumber pendapatan lainnya, keberhasilannya tidak otomatis terjadi,” ujar Yusuf.
Dia menjelaskan, lembaga tersebut harus mampu mengatasi masalah penggelapan pajak dan administrasi yang kurang efisien. Lembaga itu juga harus mampu memperkenalkan langkah-langkah pendapatan baru yang pada kenyataannya lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
“Terutama jika mengingat saat ini rasio pajak terhadap PDB Indonesia yang masih berada di sekitar 10%,” kata Yusuf.
Dinilai Ambisius
Dalam konteks rencana pembentukan BPN yang tercantum dalam RPJMN, Yusuf menilai langkah tersebut tampak ambisius. Selain itu juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kelayakan dan implementasinya.
“Karena RPJMN merupakan rencana lima tahunan yang mengharuskan proses restrukturisasi birokrasi, alokasi sumber daya, dan bahkan kemungkinan perubahan Undang-undang,” ucap Yusuf.
Untuk itu, ia menilai harapan agar penerimaan melonjak lebih dari dua kali lipat dalam waktu singkat terlalu optimistis. Apalagi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga menghadapi tantangan signifikan dalam memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi BPN.
“Resistensi institusional menjadi kendala utama mengingat DJP telah lama bernaung di bawah Kemenkeu sehingga pemisahan tersebut berpotensi mengganggu struktur kekuasaan dan alur kerja,” ujar Yusuf.
Jurus Lain Kerek Rasio Pajak
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, hadirnya BPN tidak akan membantu banyak dalam mengerek penerimaan negara. Menurut Huda, kebijakan tersebut ltidak esensial dalam meningkatkan penerimaan negara.
“Terlebih jika kita lihat masih banyak PR internal DJP dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang harus dibenahi tanpa perlu membentuk badan baru,” kata Huda.
Huda mengatakan ada opsi lain jika pemerintah ingin meningkatkan rasio pajak selain membentuk BPN. Pertama, pemerintah bisa mengejar pajak di sektor pertambangan yang masih sangat minim kontribusinya terjadap penerimaan perpajakan.
“Kejar pengusaha-pengusaha tambang pengemplang pajak plus ubah aturan perpajakan bidang tambang,” ucap Huda.
Langkah kedua, mengejar pajak untuk orang pribadi karena kontribusinya masih di bawah 1%. Hal ini bisa diterapkan melalui wealth tax yang menurut Huda dapat meningkatkan kinerja perpajakan RI.
Target Penerimaan Negara 2029
Dalam perpres tersebut, Prabowo menetapkan target rasio pendapatan negara pada 2029. Begitu juga dengan target rasio penerimaan perpajakan pada tahun terakhir masa jabatannya itu.
Pemerintah menargetkan rasio pendapatan negara pada 2029 mencapai 13,75% hingga 18% dari PDB. Target ini meningkat jika dibandingkan 2024 yang mencapai 12,82% dari PDB dan pada 2025 dibidik mencapai 12,36%.
Prabowo juga menargetkan rasio penerimaan perpajakan pada 2029 bisa tembus di kisaran 11,52% hingga 15%. Target ini juga meningkat dari realisasi pada 2024 yakni 10,07% dan pada tahun ini ditargetkan mencapai 10,24%.
