Ekonom Bicara: Alarm Kejatuhan IHSG, Apakah Krisis Ekonomi 1998 Terjadi Kembali?

Ringkasan
- Perputaran uang Lebaran diprediksi lebih rendah daripada tahun sebelumnya karena penurunan jumlah pemudik dan daya beli masyarakat. Situasi ini berbeda dengan Lebaran sebelumnya yang bersamaan dengan pemilu sehingga perputaran uang lebih tinggi.
- Jumlah pemudik tahun ini diproyeksikan turun 24,33% menjadi 146,48 juta jiwa, sehingga perputaran uang diperkirakan hanya Rp137,975 triliun, turun 12,28%. Penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi ekonomi dan kebutuhan biaya sekolah yang akan datang.
- Pemerintah memberikan sejumlah stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat, seperti diskon tiket pesawat, diskon tarif tol, dan program pariwisata mudik Lebaran. THR juga diimbau untuk diberikan kepada pengemudi transportasi daring.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami tekanan sepanjang tahun ini, memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan investor. Sejak awal 2025, IHSG telah melemah signifikan, bahkan mencatatkan salah satu penurunan terdalam di Asia.
Pada Jumat (21/3), IHSG ditutup melemah 1,94% ke level 6.258,18, dengan akumulasi koreksi sepanjang tahun mencapai 11,61%. Tekanan di pasar saham semakin diperburuk oleh laporan Kementerian Keuangan yang mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dua bulan berturut-turut.
Pada Februari 2025, defisit APBN mencapai Rp31,2 triliun atau 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi defisit awal tahun pertama sejak 2021 saat pandemi Covid-19. Tekanan ini memicu kepanikan di pasar hingga IHSG sempat anjlok 6,12% ke level 6.076,08 pada sesi pertama perdagangan Selasa (18/3).
Bursa Efek Indonesia (BEI) pun menerapkan penghentian sementara perdagangan atau trading halt, langkah yang terakhir kali dilakukan saat pandemi Covid-19. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah Indonesia berisiko mengalami krisis ekonomi serupa dengan 1998?
Menanggapi kondisi ekonomi yang terjadi, sejumlah ekonom berkeyakinan Indonesia bisa bangkit lagi. Keyakinan akan stabilitas ekonomi dalam negeri ini juga dibahas dalam Katadata Podcast Ekonom Bicara: Market Crash dan Hantu Krisis Ekonomi 1998 yang dipandu Pemimpin Redaksi Katadata Yura Syahrul beberapa waktu lalu.
Dalam podcast itu terungkap sejumlah indikator menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia berada dalam kondisi lebih stabil dibandingkan dengan beberapa krisis sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada 1998, rasio utang luar negeri pemerintah dan swasta terhadap cadangan devisa mencapai 8,6 kali. Pada 2008, rasio ini turun menjadi 2,97 kali, dan per Januari 2025 kembali menyusut menjadi 2,56 kali.
Ekonom sekaligus expert panel Katadata Insight Center, Gundy Cahyadi mengatakan cadangan devisa Indonesia juga jauh lebih kuat dibandingkan akhir 1997 yang hanya mencapai US$17,4 miliar atau setara 4,5 bulan impor. Per Februari 2025, cadangan devisa tercatat US$154,5 miliar, setara 6,6 bulan impor.
Dari sisi fiskal, rasio utang pemerintah terhadap PDB per Januari 2025 berada di 39,6%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan 57,7% pada 1998 dan 85,4% pada 1999.
“Dari segi debt to GDP, masih di kisaran 40%. Itu masih rendah sekali kalau kita bandingkan dengan standar global,” kata Gundi seperti dikutip Sabtu (22/3).
Gundi menjelaskan, stabilitas juga terlihat pada sektor perbankan. Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) gross pada 1998 sempat menyentuh 48,6%. Adapun pada Januari 2025, NPL gross hanya 2,18%.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Kepala Ekonomi Permata Bank Josua Pardede. Ia mengatakan tingkat suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) overnight juga jauh lebih rendah dibandingkan 1998, ketika sempat melonjak ke 63,16%. Per Maret 2025, suku bunga PUAB overnight berada di kisaran 5,72%, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Jadi, jika dibandingkan dengan 1998 dan 2008, kondisi ekonomi domestik saat ini lebih kuat untuk menghadapi potensi krisis yang akan datang,” ujar Josua.
Sementara itu, ekonom sekaligus Staf Khusus Menteri Keuangan 2020–2024, Masyita Crystallin, menilai risiko keluarnya investor asing memicu krisis ekonomi di Indonesia masih minim. Hal ini dikarenakan pasar saham Indonesia tidak lagi terlalu bergantung pada investor asing seperti di masa lalu.
“Saya ragu (krisis) akan menjalar karena kepemilikan asing, baik di equity maupun fixed income, sudah berkurang dibandingkan dulu. Jadi, volatilitas akibat keluar-masuknya asing tidak semasif lima tahun lalu. Walaupun, kalau kita ingin investasi naik, kita tetap mengharapkan capital inflow,” kata Masyita.
Dalam enam bulan terakhir, aksi jual bersih investor asing (net foreign sell) mencapai Rp 45 triliun, dengan Rp 30 triliun di antaranya terjadi sejak awal tahun 2025. Anjloknya pasar saham ini menjadi sinyal perlambatan ekonomi yang harus diwaspadai oleh pelaku pasar dan regulator.