Ekonom Ungkap Penyebab Kemiskinan Turun di Tengah PHK dan Fenomena Rojali
BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2025 sebanyak 23,85 juta orang atau 8,47% dari total populasi. Angka tersebut turun dibandingkan tahun sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut penurunan ini sebagai sinyal meningkatnya kesejahteraan masyarakat. “Tren perbaikan dari kesejahteraan seperti jumlah penduduk miskin per Maret 2025 oleh BPS dinyatakan turun 1,37 juta orang dibandingkan Maret 2024," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Senin (28/7).
Namun, penurunan angka kemiskinan ini menimbulkan tanda tanya di saat banyak masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi. Perlambatan ekonomi Indonesia terlihat pada kuartal pertama 2025 sebesar 4,87% secara tahunan.
Sepanjang semester 1 juga marak dengan kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), daya beli masyarakat melemah, hingga munculnya fenomena rombongan jarang beli alias rojali.
Lalu Kenapa Angka Kemiskinan Bisa Turun?
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengungkapkan data kemiskinan diambil dari rata-rata data kebutuhan manusia per harinya seperti kalori.
Dia menjelaskan kebutuhan tersebut dibedakan menjadi dua yakni makanan dan non makanan. Kebutuhan makanan seperti beras dan lauk pauk. Sedangkan kebutuhan non makanan seperti listrik dan sebagainya.
Huda mengungkapkan data kemiskinan BPS terbaru diambil pada Februari 2025. Saat periode ini, terdapat diskon tarif listrik yang membuat garis kemiskinan dari kebutuhan bukan makanan naik sekitar 2,01%. Sedangkan listrik sendiri menyumbang terbesar ketiga dalam komponen bukan makanan.
“Artinya memang adanya intervensi diskon tarif listrik membuat harga tidak melambung dan garis kemiskinan akhirnya naik tipis saja,” kata Huda kepada Katadata.co.id, Rabu (30/7).
Padahal, Huda mengatakan dampak dari diskon tarif listrik bersifat temporer. Sehingga jika dilakukan setelah intervensi bisa jadi garis kemiskinan akan naik cukup tajam.
“Padahal PHK naik tajam di bulan Maret hingga Juni 2025,” ujar Huda.
Sepanjang semester I 2025, angka PHK mencapai 42.385 orang atau meningkat 52,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 32.064 orang. Jumlah PHK tersebut juga meningkat 21,5% jika dibandingkan 2023 sebesar 26.400 orang.
Tak hanya itu, penghitungan garis kemiskinan juga melibatkan dari sisi daya beli. Huda menjelaskan, kenaikan garis kemiskinan yang tipis bisa disebabkan daya beli masyarakat yang melemah sehingga harga akan cenderung stagnan.
“Jadi daya beli lemah ini menurunkan permintaan. Dampaknya garis kemiskinan akan naik sangat tipis. Ini kelemahan menghitung kemiskinan melalui konsumsi,” ujar Huda.
Metode Penghitungan BPS Harus Diubah
Huda menilai, BPS harus mengubah atau memperbarui metode penghitungan garis kemiskinan saat ini.
“BPS harus berani untuk mengganti penghitungan saat ini untuk lebih menggambarkan kondisi di masyarakat secara lebih valid bukan hanya untuk kepentingan tertentu,” kata Huda.
Huda mengakui jika metode penghitungan diubah maka berpotensi membuat anggaran bantuan sosial atau bansos membengkak. Ia mengatakan, jika menggunakan standar batas US$ 6,85 per hari maka angka kemiskinan menjadi 60% atau setara dengan 162 juta yang mendapatkan bansos.
“Anggaran sosial bisa naik delapan sampai 10 kali lipat, sedangkan keuangan terbatas. Maka yang paling mudah dilakukan adalah dengan menggunakan standar minimal Bank Dunia,” ujar Huda.
Huda menjelaskan, ambang batas garis kemiskinan untuk negara berpenghasilan menengah ke bawah berdasarkan Bank Dunia yaitu Rp 61 ribu per hari. Ia menilai standar ini masih sangat masuk akal menggambarkan kemiskinan.
Penurunan Angka Kemiskinan Hanya Keberhasilan Administratif
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut metode penghitungan BPS saat ini hanya mengandalkan jumlah pengeluaran masyarakat. BPS tidak mengukur kualitas hidup atau kepastian kerja.
“Maka penurunan angka kemiskinan bisa terjadi meski tekanan ekonomi tetap tinggi,” kata Syafruddin.
Syafruddin menilai, penurunan angka kemiskinan lebih mencerminkan keberhasilan administratif dibanding keberhasilan structural. Khususnya dalam mengangkat kualitas hidup rakyat secara menyeluruh.
Pemerintah juga menggulirkan berbagai bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan, bantuan langsung tunai, dan subsidi pangan. Semua program ini membantu menjaga daya beli kelompok bawah.
“Intervensi ini turut mengurangi tekanan ekonomi secara temporer, meskipun dampaknya belum menyentuh seluruh dimensi kesejahteraan,” ujar Syafruddin.
