MK Tolak Gugatan Masyarakat Sipil Soal Tarif PPN 12%, Ini Alasannya
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Putusan ini dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Kamis (14/8).
Permohonan perkara diajukan oleh sejumlah pihak dari beragam latar belakang, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, pelaku usaha mikro, pengemudi ojek daring, hingga organisasi di bidang kesehatan mental.
Mereka mempersoalkan ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikenakan pada sejumlah barang dan jasa, serta rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menegaskan, dalil pemohon yang menilai pengenaan PPN pada barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, hingga jasa angkutan umum bertentangan dengan hak atas kepastian hukum dan hidup layak, dinilai tidak berdasar.
“Dalil para Pemohon yang mempersoalkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, huruf g, dan huruf j dalam Pasal 4 angka 1 UU 7/2021, adalah dalil yang tidak berdasar sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum,” ujar Ridwan Mansyur dalam sidang.
Terkait dalil pemohon mengenai inkonsistensi kenaikan tarif PPN 12% sebagaimana Pasal 7 ayat (1) huruf b dalam Pasal 4 angka 2 UU 7/2021, MK menilai aturan tersebut wajar karena merupakan perubahan pertama sejak PPN ditetapkan sebesar 10% pada 1983.
“Perubahan demikian perlu dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan negara dari penerimaan pajak yang terus meningkat,” kata Ridwan.
Penetapan Tarif PPN Masih Sesuai Konstitusi
MK juga menilai penetapan tarif PPN dalam rentang 5%–15% melalui peraturan pemerintah tetap sesuai prinsip konstitusional, karena penetapannya melibatkan DPR dalam penyusunan RAPBN.
“Pembentukan peraturan pemerintah sebagai pendelegasian undang-undang dilakukan dengan tetap berada dalam pelaksanaan fungsi konstitusional DPR karena masih dapat dinilai memenuhi prinsip no taxation without representation,” kata Ridwan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK menilai dalil para pemohon yang mempersoalkan Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU HPP tidak terbukti. Pemohon beranggapan pasal itu tidak memberi kepastian hukum dan jaminan hidup layak sebagaimana dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, MK menyatakan dalil pemohon tersebut tidak berdasar dan harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
