Apindo Ingatkan Pemerintah Hati-Hati Jalankan Program MBG hingga BLT, Mengapa?
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar menyoroti sejumlah kebijakan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka selama satu tahun ini. Salah satunya mengenai program makan bergizi gratis alias (MBG) yang menjadi program prioritas pemerintahan saat ini.
Menurut Sanny, pemberian MBG dan BLT secara cuma-cuma kepada masyarakat perlu dilakukan dengan hati-hati. Ia menilai program tersebut harus dipastikan memiliki efek berganda kepada masyarakat.
“Kita juga harus hati-hati bahwa sebetulnya yang diperlukan bagaimana orang itu bekerja,” kata Sanny dalam acara Katadata Policy Dialogue: Satu Tahun Prabowo-Gibran di Jakarta, Selasa (21/10).
Sanny mengatakan pemerintah akan menganggarkan Rp 335 triliun untuk MBG pada 2026. Ia pun menilai dana itu cukup besar dan bisa jauh lebih berdampak untuk menggerakan ekonomi.
“Kalau itu dipakai untuk menggerakkan perekonomian dan sebagainya akhirnya banyak orang kerja. Akhirnya si orang tuanya yang kerja ini bisa memberi makan anaknya. Itu kan lebih bagus daripada si anak-anak itu dengan orang tuanya nganggur, anak-anaknya dikasih makan, ekstremnya seperti itulah,” kata Sanny.
Sanny menilai program MBG memang bisa memberikan dampak ekonomi. Namun, menurutnya anggaran tersebut tidak bisa memberikan efek secara langsung terhadap perekonomian.
“Kita tahu di negara maju ada banyak tunjangan-tunjangan gratis tapi lebih banyak dimanfaatkan, khususnya oleh para imigran,” ujar Sanny.
MBG Belum Efektif
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia alias (LPEM FEB UI) merilis survei terbarunya. Laporan ini bertajuk LPEM Economic Experts Survey Semester II 2025 ‘Evaluating One Year of The Current Administration’.
Dalam laporan survei itu diungkapkan 73% pakar memandang program MBG sangat tidak efektif atau tidak berkelanjutan. Mayoritas responden atau 47 dari 64 pakar atau 73% memandang program MBG tidak efektif mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang diharapkan.
Hanya satu pakar yang berpendapat bahwa program ini cukup efektif atau berkelanjutan. Sementara 13 pakar lainnya menyatakan pandangan yang cukup negatif, dan tiga pakar tetap netral.
“Pola ini menunjukkan skeptisisme yang luas di antara para pakar ekonomi mengenai desain, implementasi, dan kelayakan fiskal jangka panjang program,” tulis LPEM FEB UI.
Ekonom sekaligus Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan juga menilai hal yang sama. Ia mengungkapkan MBG memiliki konsep penerapan yang salah.
“Awalnya memang program nutrisi dari sejarah dunia. Lalu, ke sini bukan program nutrisi lagi. Itu semua adalah program agar bisa di sekolah lebih lama ditambah dengan pelajaran nilai-nilai.” kata Ikhsan.
Namun ia mengakui ada penelitian yang mengungkapkan program seperti MBG memiliki dampak positif dari sisi pendidikan. Ia pun juga menyoroti cara pemerintah mengalokasikan anggaran untuk MBG.
Untuk di daerah yang mayoritas dari keluarga mampu, orang tua bisa membayar untuk MBG. Sebab pada akhirnya juga untuk memberikan makan kepada anak-anaknya.
Sementara pemerintah bisa fokus menggunakan anggarannya untuk siswa yang kurang mampu. “Pemerintah bisa kasih voucher untuk orang yang kurang mampu. Namun ini harus prepare, tidak bisa dalam keadaan sekarang,” kata Ikhsan.
