AS dan Cina Berunding di Malaysia, Upaya Meredam Perang Dagang Global
Pejabat tinggi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Cina dijadwalkan tiba di Kuala Lumpur pada Jumat (24/10) untuk membahas upaya mencegah eskalasi perang dagang serta memastikan pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping pekan depan tetap berlangsung sesuai rencana.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer akan bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Tiongkok He Lifeng guna mencari jalan keluar setelah Trump mengancam akan mengenakan tarif baru sebesar 100% terhadap produk asal Cina mulai 1 November.
Langkah itu merupakan respons atas kebijakan Beijing yang memperluas pengendalian ekspor mineral dan magnet tanah jarang (rare earths).Pertemuan yang dijadwalkan berlangsung pada Sabtu di sela-sela KTT ASEAN di ibu kota Malaysia itu menjadi yang kelima antara He, Bessent, dan Greer sejak Mei lalu.
Lokasi pertemuan berpindah dari kota-kota di Eropa ke kawasan Asia, tepatnya di negara eksportir utama yang memiliki ketergantungan besar terhadap dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Fokus ke Dominasi Magnet Tanah Jarang Cina
Pembahasan diperkirakan kembali berfokus pada dominasi Cina terhadap pasokan global mineral dan magnet tanah jarang yang penting bagi industri teknologi tinggi. Beijing dinilai menggunakan posisi strategis ini sebagai alat tekanan terhadap Washington.
Pada April lalu, Trump mengenakan tarif baru terhadap impor asal Tiongkok yang kemudian memicu lonjakan tarif hingga tiga digit di kedua pihak. Sebagai balasan, Beijing menghentikan pasokan rare earths ke pembeli di AS—kebijakan yang mengancam produksi kendaraan listrik, semikonduktor, dan sistem persenjataan Negeri Paman Sam.
Pertemuan pertama antara Bessent, Greer, dan He di Jenewa pada Mei lalu menghasilkan gencatan dagang selama 90 hari. Kesepakatan itu menurunkan tarif menjadi sekitar 55% di pihak AS dan 10% di pihak Cina, serta memulihkan kembali arus perdagangan magnet. Kesepakatan tersebut kemudian diperhalus dalam pertemuan lanjutan di London dan Stockholm.
Pada September, pertemuan di Madrid menghasilkan kesepakatan baru untuk mengalihkan kepemilikan aplikasi video pendek TikTok ke kontrol AS. Namun, gencatan rapuh itu retak dua minggu kemudian ketika Departemen Perdagangan AS memperluas daftar hitam ekspor untuk mencakup seluruh perusahaan yang lebih dari 50% dimiliki oleh entitas yang sudah masuk daftar larangan ekspor tersebut.
Sebagai balasan, pada 10 Oktober, Cina memberlakukan kontrol ekspor global baru untuk rare earths, dengan alasan mencegah penggunaannya dalam sistem militer. Kebijakan itu mewajibkan izin ekspor bagi produk yang menggunakan mineral tanah jarang atau teknologi pengolahan yang dikembangkan oleh perusahaan asal Cina.
Bessent dan Greer mengecam langkah tersebut sebagai bentuk perebutan kekuasaan atas rantai pasok global dan menegaskan bahwa AS beserta sekutunya tidak akan menerima pembatasan itu.
Menurut laporan Reuters, pemerintahan Trump tengah mempertimbangkan pembatasan tambahan terhadap ekspor berbasis perangkat lunak ke Cina mulai dari laptop hingga mesin jet.
Upaya Menjauh dari Tepi Jurang
Menurut analis, tantangan utama delegasi AS dan Cina di Kuala Lumpur adalah mencari jalan untuk memulihkan kondisi sebelum konflik agar pasokan magnet kembali normal dan menghindari lonjakan tarif besar-besaran. Jika perundingan gagal, pertemuan Trump–Xi yang dijadwalkan berlangsung Kamis depan di Korea Selatan dalam rangka KTT APEC bisa saja dibatalkan.
“Saya optimistis pada pertemuan kali ini akan ada keputusan taktis untuk memperpanjang masa jeda,” kata peneliti senior di Georgetown University’s Initiative for U.S.–China Dialogue on Global Issues Dennis Wilder.
Wilder mengatakan Trump tidak akan benar-benar menerapkan tarif 100%, dan pihak Tiongkok kemungkinan juga akan sedikit melonggarkan kebijakan larangan ekspor rare earths untuk sektor pertahanan.
Selain menekan isu rare earths, AS juga akan meminta Beijing kembali membeli produk pertanian, terutama kedelai, setelah Cina tidak melakukan pembelian apa pun pada September lalu. Langkah itu penting karena petani AS merupakan basis politik utama bagi Trump.
Namun, Direktur Program Ekonomi di CSIS Philip Luck menilai pembahasan kali ini kemungkinan besar tidak akan menyentuh akar permasalahan utama, yaitu model ekonomi Cina yang berorientasi ekspor.
“Kita belum bisa sampai ke sana karena sekarang fokusnya meminta mereka kembali membeli kedelai. Padahal, itu bukan isu utamanya," kata dia.
