Ekonomi Jepang Terkontraksi 1,8%, Terpukul Tarif Trump dan Lesunya Ekspor
Ekonomi Jepang kembali melemah pada kuartal III-2025, turun 1,8% secara tahunan. Penurunan ini terjadi karena tekanan tarif impor dari Amerika Serikat dan jatuhnya investasi perumahan, sementara pemerintah bersiap mengumumkan paket stimulus besar bulan ini.
Penurunan PDB riil pada periode Juli–September ini lebih ringan dibanding perkiraan ekonom yang memprediksi kontraksi 2,5%. Namun ini tetap menjadi penyusutan pertama dalam enam kuartal terakhir, muncul pada saat Jepang menantikan detail rencana belanja pemerintah baru dan keputusan suku bunga dari Bank of Japan (BoJ).
Perdana Menteri Sanae Takaichi berjanji membantu rumah tangga yang kesulitan menghadapi kenaikan biaya hidup. Ia diperkirakan segera mengumumkan paket stimulus besar dalam pekan ini untuk mendorong perekonomian negara industri terbesar di Asia itu.
Kontraksi ekonomi terutama dipicu oleh penurunan ekspor barang dan jasa bersih, yang tertekan ketidakpastian tarif dari Presiden AS Donald Trump. Faktor ini turut menyumbang penurunan 0.2% pada PDB kuartalan.
Pada kuartal sebelumnya (April–Juni), ekspor Jepang sempat naik tajam karena perusahaan buru-buru mengirim barang ke AS setelah Trump mengumumkan rencana tarif “liberation day”.
Tokyo dan Washington akhirnya mencapai kesepakatan dengan menurunkan tarif AS pada produk Jepang menjadi 15% dari ancaman sebelumnya 25%, disertai komitmen investasi Jepang sebesar US$550 miliar di Amerika Serikat.
Ganggu Ekspor dan Industri Jepang
Ekonom Moody’s Analytics untuk Jepang Stefan Angrick menilai ancaman tarif menganggur ekspor dan produksi industri Jepang.
"Pengeluaran rumah tangga juga lemah karena inflasi melampaui pertumbuhan upah, dan kenaikan gaji bisa semakin melambat jika tekanan tarif kembali membebani ekonomi,” ujar Angrick dikutip dari Financial Times, Senin (17/11).
Ia menambahkan bahwa ekonomi Jepang “terjebak dalam kondisi yang sama selama tiga tahun terakhir.
Data PDB terbaru juga menunjukkan betapa tekanan biaya hidup menahan konsumsi masyarakat. Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar separuh perekonomian, hanya tumbuh 0,1% dari kuartal sebelumnya. Sementara itu, investasi perumahan individu anjlok 9,4%.
Para analis menilai lemahnya data ekonomi ini kemungkinan memperkuat tekad PM Takaichi untuk mendorong stimulus fiskal besar, meskipun muncul kekhawatiran bahwa lonjakan belanja yang berpotensi dibiayai lewat penerbitan utang baru yang dapat memicu volatilitas di pasar obligasi pemerintah Jepang.
Situasi ini juga membuat pertimbangan Bank of Japan (BoJ) semakin rumit menjelang rapat kebijakan penting pada Desember, ketika bank sentral sebelumnya diperkirakan akan menaikkan suku bunga. Meskipun inflasi meningkat dan terdapat tanda-tanda overheating pada kredit perbankan, BoJ memilih menahan suku bunga pada akhir bulan lalu.
Namun dengan sinyal pelemahan dalam data PDB terbaru, sejumlah analis memperingatkan bahwa peluang kenaikan suku bunga semakin melemah, bahkan berpotensi mundur hingga 2026.
