Listrik Swadaya
Berawal dari selembar mata pelajaran kelas empat sekolah dasar. Sebuah kincir air ternyata bisa menyalakan lampu bohlam. Gambar itu menjadi mimpi berhari-hari dibenak kepala seorang guru Sutarjo. Maklum saja, bertahun-tahun ia bersama puluhan warga lainnya tak pernah menikmati aliran listrik. Padahal setiap malam ia mesti berjibaku memeriksa lembaran hasil belajar dari anak didiknya.
?Saya cuma punya lentera saja. Setengah mati membaca di malam hari,? kata Sutarjo.
Gambar kincir air itu menjadi obrolan warga setiap hari. Namun mereka tak mengerti bagaimana cara membuatnya dan mengapa bisa mengubahnya menjadi listrik. Keterbatasan pengetahuan dan informasi membuat hidup mereka merana. Apalagi mereka tinggal di dalam kawasan hutan yang jaraknya sangat jauh dari keramaian.
Sutarjo dan warga lainnya tinggal di Dusun Dosan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Letak dusun ini melewati perkebunan sawit dan hutan. Dari jalan raya Trans Kalimantan, mesti melalui jalan perintis yang masih tanah. Jika musim hujan hanya kendaraan roda dua yang sanggup menerabas jalan ini atau jenis mobil jeep. Bertahun-tahun mereka tinggal di tempat yang terisolir dan tak tersentuh oleh pembangunan.
Termasuk sekedar menikmati aliran listrik dari PLN. ?Sekitar tahun 1970 ada warga yang punya sepeda. Lampunya bisa nyala karena ada dinamo,? kata Sutarjo. Sepeda dan kincir air semakin membuka mata warga Dosan. Mereka yakin bisa membuat kincir air dan menghasilkan listrik secara mandiri. Apalagi, dusun ini juga memiliki aliran air Muara Kanau. Dan tak pernah kering jika musim kemarau. Bagi warga Dosan, sungai adalah transportasi utama untuk menjangkau perkotaan.
Sejak tahun 1980, akhirnya mereka berjuang membangun kincir air sederhana. Bahan bakunya hanya papan, karet ban dalam mobil dan dinamo. Kincir air bikinan warga ini berhasil dan membuat lampu bohlam menyala.
?Tapi air langsung menghanyutkan papannya,? kata Nurhasan sambil tertawa. Berkali-kali mereka membuat contoh kincir air yang kuat dan berdaya. Namun, seringkali mereka gagal dan tak menghasilkan listrik yang maksimal.
Tahun 2012 menjadi titik balik bagi dusun ini. Usulan dan perjuangan mereka ditanggapi oleh PNPM Mandiri Perdesaan. Dusun Dosan mendapatkan bantuan dana pembangunan pembangkit listrik mikrohidro sesuai Rencana Anggaran Dana (RAD) yang dirancang oleh warga sebesar Rp 266 juta. Warga juga menyumbang dana sebesar Rp 107 juta untuk menambah dana proyek ini.
Selama 30 hari mereka urun rembug. Mulai membendung Muara Kanau. Membangun rumah untuk mesin mikro hidro hingga menggotong pipa-pipa. Seorang konsultan juga mendampingi pengerjaan ini agar pembangunan mikro hidro berjalan lancar. Kabel-kabel listrik mulai membentang di sepanjang jalan desa. Termasuk tersambung ke setiap rumah warga.
?Saya senang sekali. Lampu menyala. Anak-anak bisa belajar. Dan kami menikmati hiburan dari televisi,? kata Sutarjo.Listrik mengubah kehidupan dusun. Mereka semakin betah dan bersemangat untuk membangun dusunnya itu.
Keberadaan pembangkit listrik mikro hidro ini menjadi motor perubahan. Warga juga membentuk pengurus agar si pembangkit berumur panjang. Setiap rumah menyetor iuran bulanan listrik sebesar Rp 50 ribu. Lampu-lampu bohlam juga menggunakan teknologi energi yang ramah lingkungan. Hingga saat ini, saldo dari iuran listrik warga mencapai Rp 21 juta.
?Kemarin saat membersihkan bendungan, kita malah panen ikan hampir satu ton,? kata Nurhasan.
Mimpi Sutarjo dan ratusan warga lainnya akhirnya terwujud. Setelah melewati 44 tahun dari kincir air sederhana hingga berdirinya pembangkit listrik berkekuatan 30 KW. Sutarjo tak lagi kelimpungan dengan lampu petromaksnya.
Foto & Teks: KATADATA | Donang Wahyu