Opsi Militer ke Ukraina adalah Pilihan Terburuk

Gabriel Wahyu Titiyoga
29 April 2022, 10:00
Duta Besar Rusia Lyudmila Vorobieva
Katadata

Pemerintah Rusia terus melancarkan serangan militernya ke sejumlah wilayah di Ukraina. Invasi yang berlangsung sejak 24 Februari itu membuat banyak kota di Ukraina hancur dan ribuan korban sipil berjatuhan. Dunia bergejolak.

Gelombang sanksi, dari banyak negara, baik yang menyasar ekonomi, finansial, mau pun individu pejabat Rusia, terus berdatangan. Laporan Institute of International Finance menyebutkan Rusia bisa kehilangan hingga US$ 300 miliar jika seluruh sanksi atas perdagangan minyaknya diberlakukan. Ekspor minyak menyumbang sekitar 40 persen pendapatan Rusia.

Organisasi Uni Eropa bahkan sampai membekukan aset Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov. Setidaknya 1.091 individu dan 80 entitas Rusia masuk dalam daftar sanksi Uni Eropa.

Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, mengatakan para pejabat tinggi Rusia tidak ambil pusing dengan deretan sanksi itu. Sanksi memang bisa berdampak pada ekonomi Rusia, namun pemerintah sudah mengambil langkah untuk menekan efeknya. Peluang bagi bisnis-bisnis lokal untuk berkembang pun terbuka. “Ini bukan pertama kalinya kami mendapatkan sanksi,” kata Vorobieva.

Vorobieva mengatakan Rusia menyerang Ukraina karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Menurut dia, Rusia terancam oleh aksi aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang kian mendekati perbatasannya. Rusia pun menganggap Ukraina sudah dimanfaatkan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa dan NATO untuk berkonfrontasi dengan Rusia. “Ukraina tidak independen lagi,” kata lulusan Institut Hubungan Internasional Negeri Moskow itu.

Perang di Ukraina, menurut Vorobieva, membawa korban jiwa. Rusia pun telah membuka koridor evakuasi dan menerima lebih dari satu juta pengungsi. “Orang Rusia dan warga Ukraina, kami menampung siapa saja,” ujarnya.

Dalam wawancara dengan Katadata di kediamannya di Jakarta pada Senin (18/4), Vorobieva menerangkan kebijakan pemerintah Rusia menyerang Ukraina lewat apa yang disebutnya sebagai operasi militer dan dampak sanksi terhadap negaranya. Duta besar yang bertugas di Indonesia sejak 2018 lalu itu juga menjawab soal ancaman boikot yang akan terjadi jika Rusia hadir di Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November mendatang.

Rusia dan Ukraina memiliki relasi dan sejarah yang panjang. Banyak penduduk kedua negara yjuga memiliki ikatan keluarga. Mengapa Rusia justru memutuskan melakukan serangan militer yang berlangsung hingga sekarang di Ukraina?

Kami memang memiliki hubungan yang erat dengan Ukraina. Kami memandang Ukraina sebagai saudara. Pada dasarnya kami adalah bangsa yang sama, termasuk dalam tradisi, budaya, dan agama. Bahasa sedikit berbeda tapi berada dalam rumpun yang sama. Selama berabad-abad kami pernah menjadi bagian negara yang sama.

Sayangnya, apa yang terjadi saat ini tidak hanya menyangkut Ukraina. Dalam situasi sekarang, Ukraina adalah korban dan telah dijadikan instrumen oleh negara-negara Barat untuk menyerang Rusia.

Selama delapan tahun terakhir kami berusaha menyelesaikan masalah ini lewat diplomasi dan cara damai. Negara-negara Barat tidak mendengarkan kami. Mereka bahkan mendorong Ukraina berkonflik dengan Rusia. Kami tidak mengobarkan perang melawan warga Ukraina. Kami justru menyelamatkan rakyat sipil dan hanya menargetkan instalasi militer.

Apa tujuan yang ingin dicapai Rusia?

Target operasi kami adalah menghentikan perang yang sudah berlangsung selama delapan tahun sejak pemerintah di Kyiv memutuskan menyerang militer di Lugansk dan Donetsk. Selama delapan tahun rakyat menderita di sana, 14 ribu orang, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas.

Kami pernah mencoba mengatasi situasi ini dengan menginisiasi Kesepakatan Minsk pada 2014. Yang menandatangani dan menjaminnya bukan hanya Rusia, juga Prancis, Jerman, dan negara-negara Barat lainnya. Kami berusaha mendorong Kyiv memenuhi komitmennya di Kesepakatan Minsk, tapi mereka tak melakukannya.

Kesepakatan Minsk menyediakan peta jalan dalam penyelesaian perang sipil dan menjaga integritas wilayah Ukraina. Salah satu syaratnya, pemerintah di Kyiv harus mengadopsi hukum khusus yang mengatur status otonomi Lugansk dan Donetsk untuk menyelesaikan masalah di Ukraina.

Sayangnya, itu tak pernah terjadi. Pemerintah di Kyiv justru menjalankan kebijakan anti-Rusia. Mereka sudah dihasut negara-negara Barat.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Kami memiliki bukti bahwa Kyiv, dengan dukungan negara-negara Barat, berencana menyerang Lugansk, Donetsk, dan Krimea. Krimea sudah menjadi bagian Rusia sejak 2014.

Jika diperhatikan lebih jauh, ini adalah serangan terhadap Rusia karena menentang dominasi global Amerika Serikat dan sekutunya. Kami tak sepakat bahwa ada sekelompok kecil negara-negara yang memaksakan kehendak dan aturannya di dunia.

Kami tidak ingin berperang. Kami bahkan menentang perang. Kami berusaha menyelesaikan krisis dengan diplomasi dan cara damai.

Tetapi kami tidak punya pilihan. Ini adalah masalah keamanan Rusia serta hidup para penduduk di Lugansk dan Donetsk yang juga merupakan etnis Rusia.

Anda menyebut Rusia pernah bernegosiasi dengan Ukraina. Apakah akan ada pendekatan diplomatik lain?

Kami sudah melobi Kyiv, namun pemerintah di sana tidak independen. Mereka hanya mendengarkan dan menjalankan perintah dari Eropa dan Amerika.

Desember lalu kami mendekati negara-negara Barat dan meminta mereka memberikan jaminan keamanan. Kami bahkan membuat draf perjanjian terkait jaminan keamanan antara Rusia, Amerika, dan organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Mereka tidak merespon.

Tidak ada pembicaraan lagi dengan Ukraina?

Sejak operasi militer dimulai, kami mencoba berbicara dengan Ukraina. Kami masih berusaha hingga sekarang. Sayangnya, Ukraina sepertinya tidak ingin mencapai hasil nyata. Kami justru mendapatkan pernyataan dari Barat yang mendesak Ukraina untuk tidak melanjutkan pembahasan kesepakatan damai dengan pemerintah Rusia dan meneruskan krisis ini.

Ukraina sudah dipengaruhi oleh negara-negara Barat. Merekalah yang mengirim senjata dan melatih militer Ukraina. Banyak tentara asing berada di Ukraina, beberapa di antaranya sudah menyerah, termasuk mereka yang di Mariupol. Mereka bilang masih banyak anggota militer asing di Mariupol.

Jadi Ukraina memang tidak independen dalam menjalankan aksinya. Barat punya kepentingan dalam krisis ini.

Sejauh ini kami sudah beberapa kali bernegosiasi, terakhir di Istabul. Sempat ada progres, tetapi Ukraina malah mundur. Negara-negara Barat terus menyuplai senjata dan membuat ilusi bahwa Ukraina akan menang.

Sejumlah laporan menyebut Rusia sudah kehilangan lebih dari 7.000 tentara dalam perang ini. Bagaimana pemerintah Rusia merespon hal itu dan menjelaskan ke warga Rusia?

Ketika ada operasi militer, tentu saja ada korban jiwa. Tidak sampai 7.000 korban, hanya sekitar 1.500 orang. Tentu saja ini tragedi yang menyakitkan, tapi kami berusaha menyelamatkan lebih banyak orang. Tentara yang terlibat dalam operasi ini adalah para profesional, itu sudah tugas mereka.

Kami mencoba menghindari jatuhnya korban lebih banyak, baik di kalangan sipil maupun militer, termasuk militer Ukraina.

Konflik Rusia dengan Ukraina
Konflik Rusia dengan Ukraina (ANTARA FOTO/REUTERS/Maksim Levin/hp/cfo)

 

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen sudah mengunjungi Kyiv dan bertemu Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Beberapa petinggi negara Eropa melakukan hal yang sama. Anda melihat ini indikator bahwa Ukraina semakin dekat dengan Eropa dan NATO?

Sebenarnya mereka selalu dekat. Sejak 2014 mereka sudah memutuskan memihak Eropa. Presiden Zelensky bahkan menyatakan Ukraina ingin menjadi anggota NATO. Ini tidak bisa diterima oleh Rusia. Pasalnya, jika NATO membawa infrastrukturnya ke perbatasan Ukraina dan Rusia, yang panjangnya 2.000 kilometer, keamanan kami terancam.

Kami berkali-kali memberi tahu negara-negara Barat, Ukraina tidak boleh menjadi anggota NATO. Bagi kami, itu garis terlarang yang tidak bisa dilanggar.

Target operasi militer saat ini adalah demiliterisasi Ukraina. Dengan demikian, kami tidak lagi merasa terancam oleh negara tetangga. Kami bisa merasa aman.

Namun kubu Barat terus memasok senjata ke Ukraina selama delapan tahun terakhir. Jadi kita tidak lagi bicara apakah Ukraina mendekat ke Uni Eropa atau NATO. Mereka sudah tidak independen lagi. Kami melihat kebijakannya dipengaruhi oleh Brussels dan Washington. Artinya ini tidak sesuai lagi dengan kepentingan rakyat Ukraina.

Pemerintah Rusia sampai meningkatkan status nuklir dan ingin memperluas jangkauannya di Eropa. Apa sebabnya?

Ini hal logis karena kami menilai ekspansi NATO sebagai ancaman terhadap keamanan Rusia. Jika menilik sejarahnya, pada 1989 kami dijanjikan bahwa NATO tidak akan berekspansi atau mendekat ke perbatasan Rusia. Tetapi para pemimpin negara Barat tidak menepati janjinya. Mereka berbohong.

Presiden Mikhael Gorbachev pernah meminta perjanjian tertulis tetapi pihak Barat tidak setuju. Mereka bilang percaya saja bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi. NATO ternyata terus memperluas pengaruhnya, makin banyak negara yang bergabung. Infrastruktur NATO terus mendekat ke perbatasan negara kami.

Kami menilai NATO sebagai aliansi yang agresif. Mereka dulu mengebom Yugoslavia selama 78 hari. Mereka menghancurkan Libya. Lihat apa yang mereka lakukan di Irak, bahkan ketika tudingan negara itu memiliki senjata pemusnah massal tidak terbukti. Mereka membunuh lebih dari satu juta warga Irak. Mereka bahkan bercokol 20 tahun di Afganistan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...