Industri Kian Ekspansif, PMI Manufaktur Januari Rekor Tertinggi 52,2
Sinyal pemulihan ekonomi Indonesia semakin terasa di awal tahun 2021. Hal ini terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Januari 2021 yang berada pada level 52,2 atau meningkat dibanding sebulan sebelumnya di level 51,3.
Peningkatan PMI manufaktur Indonesia menunjukkan ekspansi sektor industri manufaktur yang berakselerasi. Kondisi ini juga menunjukkan kenaikan permintaan yang akhirnya juga berpengaruh pada meningkatnya aktivitas produksi.
Ini berarti PMI manufaktur Indonesia telah mengalami kenaikan selama empat bulan berturut turut, dengan peningkatan pada awal tahun ini menjadi yang tercepat selama 6,5 tahun terakhir. Capaian indeks di level 52,2 tersebut juga menjadi yang tertinggi sejak survei ini dimulai pada April 2011.
“Di tengah masa-masa sulit ini kenaikan selama empat bulan berturut-turut ini menunjukkan bahwa rebound-nya ekonomi Indonesia akan semakin cepat,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Senin (1/2).
Menperin Agus pun mengapresiasi seluruh pelaku industri yang tetap optimis dan terus berproduksi berproduksi sehingga mendorong kenaikan PMI manufaktur Indonesia. “Kami akan semaksimal mungkin menjaga tren positif ini,” ujarnya.
Direktur Ekonomi di IHS Markit Andrew Harker menyampaikan sektor manufaktur Indonesia masih dalam jalur pemulihan pada awal tahun 2021, dengan pertumbuhan output dan pesanan baru di antara yang terbaik dalam survei selama satu dekade ini.
“Tren ini memberikan dorongan kepercayaan lebih lanjut, yang paling tinggi dalam empat tahun pada awal tahun,” ujarnya. Perkembangan PMI manufaktur Indonesia setahun terakhir dapat disimak pada databoks berikut:
Kenaikan PMI manufaktur Indonesia pada Januari 2021 melampaui capaian PMI manufaktur Vietnam (51,3), Thailand (49,0), dan Malaysia (48,9). Sementara itu, PMI manufaktur ASEAN pada awal tahun ini berada di level 51,4. Bahkan, PMI manufaktur China mengalami penurunan ke titik 51,3 dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,9.
Kinerja gemilang dari sektor industri manufaktur di tanah air, juga tampak pada kontribusinya paling besar terhadap nilai ekspor nasional. Pada periode Januari-Desember 2020, industri pengolahan mencatatkan ekspor sebesar US$ 131,13 miliar, naik 2,95% secara tahunan.
“Dengan capaian nilai US$ 131,13 miliar tersebut, sektor industri menyumbang dominan hingga 80,3% dari total nilai ekspor nasional yang mencapai US$ 163,3 miliar pada 2020,” sebut Agus.
Kinerja positif ini membuat neraca perdagangan sektor manufaktur sepanjang tahun 2020 menjadi surplus US$ 14,17 miliar. Agus mengatakan bahwa hal ini mengindikasikan kinerja sektor industri yang semakin membaik dan para pelaku industri di tanah air masih agresif untuk menembus pasar ekspor.
Menperin juga mengemukakan realisasi penanaman modal sektor industri di tanah air tumbuh 26 persen, dari tahun 2019 yang mencapai Rp 216 triliun menjadi Rp 272,9 triliun pada 2020.
Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), pada Januari-Desember 2020, sektor industri menggelontorkan dananya sebesar Rp 272,9 triliun atau menyumbang 33% dari total nilai investasi nasional yang mencapai Rp 826,3 triliun.
Hasilnya, realisasi investasi secara nasional pada tahun lalu melampaui target yang dipatok sebesar Rp 817,2 triliun atau menembus 101,1%. “Ini capaian yang sangat luar biasa di tengah kondisi pandemi. Bahkan, investasi sektor industri mampu tumbuh double digit,” ujar Menperin.
Ekspansi Industri Butuh Dukungan Kebijakan
Wakil ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani mengatakan bahwa ekspansi industri tidak bisa hanya bergantung pada permintaan pasar domestik dan momentum hari besar.
Oleh sebab itu, untuk mendorong ekspansi manufaktur dan memulihkan perekonomian, diperlukan pendorong dari sisi supply, misalnya dengan perbaikan iklim usaha, inbound investasi, kemudahan kredit usaha dan sebagainya.
"Selain itu, perlu juga mendorong permintaan eksternal seperti lewat peningkatan permintaan ekspor produk manufaktur nasional. Jika faktor pendukung ini tidak ada dan kita hanya bergantung pada pasar domestik, kemungkinan ekspansi manufaktur akan melambat pada 2021," ujar Shinta.
Apalagi bila proses pengendalian pandemi dan normalisasi ekonomi berjalan lama atau butuh waktu lebih dari setengah tahun, maka akan semakin sulit mendorong pertumbuhan industri.
Oleh karena itu, Shinta menilai kepercayaan ekspansi industri manufaktur sangat tergantung pada pemulihan permintaan atau suntikan modal kerja. Tanpa adanya permintaan dan modal yang signifikan, bisa dipastikan industri manufaktur akan terus menunda ekspansi.
"Khususnya untuk industri padat karya yang risiko usahanya di 2021 masih sangat tinggi akibat peningkatan beban usaha, kenaikan upah daerah dan pemotongan besar-besaran budget stimulus fiskal dan non-fiskal bagi korporasi dampak pandemi tahun ini," katanya.